August 2, 2011

semalam bersama Anna; espresso dan hujan yang tak kunjung reda

Jumat, 23 September 2010 - 05:07 am

12 jam sebelumnya, cafe LIP yogyakarta ... sesaat setelah menutup instant messenger

orang orang berkulit cokelat disekitarku berbicara dalam bahasa ibu Napoleon, fasih bahkan lebih fasih daripada tetes hujan yang masih terus menggauli si tua penarik becak di seberang jalan sana. masing masing dari mereka nampak sangat resah, mungkin karena sebentar lagi akan digauli hujan yang semakin berpora dalam pesta malam nanti ... malam jumat.


secangkir espresso kembali dibawakan gadis manis berjilbab cokelat. belum cukup... mungkin secangkir lagi. seorang sahabat dari seberang benua pernah bertanya, kenapa kamu benci hujan. nein, meine liebe ... aku tidak benci hujan, aku hanya benci pada atmosfir melankolis yang dibawa dalam tiap tetesnya. dan aku butuh sesuatu yang cukup keras untuk mendepak semua itu ... ach so katanya, mencoba menahan tawa dan mengerti dalam kepura puraan. dulu sekali. masih di pojok, terasing dalam kerumunan makluk berbahasa asing dari kampung sebelah... sepertinya hujan akan lama, celetuk seorang gadis. yang kemudian menggeser kursi dengan anggun dan meletakan beberapa buku di meja lalu duduk dan menikmati segelas teh panas. ya, sepertinya begitu ... mungkin sampai nanti pagi. rona resah di wajahnya, tergambar jelas walau penerangan yang didisain di ruang itu sedikit menyiksa. maksudku, designer interior yang punya ide masang lampu remang di cafe pastilah disainer paling goblok sedunia... siapa yang mau bayar mahal untuk menjadi rabun?? si gadis lalu membuka buku, menutup wajah nya dari padangan dengan sampul buku yang membuat aku sedikit menaikan alis mata... Anna ... gumanku. seleranya klasik juga, dalam hati saya berbisik. Anna, nama yang kemudian - dengan sangat menyesal, atas bantuan hujan - melambungkan khayal jauh ke pulau jutaan bunga. Anna, gadis kecil delapan tahun yang punya kuncir kuda simetris ... Anna, gadis manis yang terpaksa menikah di usia belasan dengan seorang tengkulak. Anna isteri sang juragan yang dalam lemari kayunya tersimpan rapi setangkai gerberra dan sebuah kartu bertuliskan 'milikmu selamanya'... Anna ibu yang meninggal saat bertarung dengan maut di ruang persalinan... perempuan. bayinya perempuan, pastinya dia akan jadi gadis cantik ketika dewasa nanti. sayang, dia pergi bersama Anna ...

efek rinai hujan memang gila, padahal sudah hampir satu dekade. rasanya seperti baru saja. tak sadar tubuh berguncang. ah pasti karena espresso. mencoba menjadi dokter sesaat. ah ... dasar perempuan bodoh, tiba tiba saja gadis manis yang seari tadi membisu dan berbicara hanya dengan bukunya menyeletuk. siapa? oh ini, Anna... seraya menunjukan buku yang dipegangnya. kenapa dengan Anna, ibarat memancing di air pasang. mencoba memanfaatkan momentum untuk memecahkan jutaan ombak dengan hebatnya. dengar, katanya dan seolah ibu guru bahasa inggrisku yang cantik, dia membacakan hal yang olehnya dikatakan 'bodoh'

"'Do this for me: never say such words to me, and let us be good friends.' These were her words, but her eyes said something different". Anna says this to Vronsky after he yet again tells her of his love for her. She is still trying to struggle against her feelings for him, but he can tell when she makes this statement that she is indeed in love with him.

ah love moves in a mysterious ways gumanku. MYMP?? sontak si gadis menebak. MYMP kan, kamu tau lagu itu yah? sayangnya enggak, yang saya ingin tahu hanya kapan hujan ini berhenti dan kenapa Anna bunuh diri. mungkin Leo sengaja membunuhnya, biar para perempuan yang dianggap bodoh harus berakhir tragis, dilindas kereta uap. kamu tahu berapa berat satu gerbong kereta api dan berapa pasang roda yang terpasang di tiap gerbongnya. hahaha hanya satu yang aku tahu, jarak antara rel ... seperti kata Cuelho?? tanyaku. ya seperti kata Cuelho...

Anna tokoh bikinan Leo Tolstoy, seorang perempuan yang terjebak dalam kisah cinta yang rumit pada suatu masa dalam dunia aristokrat negeri beruang merah, tempat dimana lahir seorang bernama Alexander Rodchenko. fotogarfer dan seorang pakar montase yang karyanya sering diperdebatkan dalam kajian media massa. Anna juga adalah nama gadis yang selama hujan yang tak kunjung reda masih terus menulis marka di angkasa, yang menemaniku dalam layar 13 inci. 2 anna yang hanya ada dalam reaksi kristal cair dan oposisi biner, dalam kecanggihan teknologi yang tidak terbayangkan oleh mereka yang menyaksikan seorang perempuan harus tercabik cabik berserakan di antara roda kereta uap ...

pukul tiga pagi, mengaduk ID11 dengan senduk kopi ...

baru saya sadari, rak di kamar belakang berisi bahan bahan yang bisa membuat lidahmu kaku... restainer, potasium, natrium, selenium, dan beberapa gram merica, kopi bubuk dari tahun 2005 dan larutan acid. satu senduk teh tak akan apa apa ... mati rasa, lidah kelu, mual, mata perih dan paling parah sesak nafas. merangkak dan disana, isak tangis diseberang disini berharap bisa menjamah jemari. Anna ... kamu hantu, dan kamu nyata sekali. setan alas, siapa yang punya ide mencampur kopi dengan restainer? dasar laki laki bodoh !! sekarang kau penuhi kakus dengan isi perutmu, bahkan keluarnya lewat mulutmu. dasar laki laki bodoh! dan diluar sana hujan belum juga reda ... Anna, kamu hantu ... tapi kenapa tamparanmu terasa nyata? berikanlah pipimu yang satu lagi, kata seorang berjubah ungu - seorang raja selalu ungu. Anna, kamu harus dan mustilah hantu - tapi kenapa air matamu terasa hangat, isak tangismu menyayat miris hatiku...

Aku benci hujan untuk alasan sentimentil, atmosfir melankolis di tiap tetesnya ... dan hujan berhenti di hari Jumat. untuk Anna ...

December 15, 2009

Love as I am free as a bird

A long time ago, I read this part of Paulo's novel Eleven Minutes to someone. I read this after deciding that the story has to end. I was not felling the presence of my freedom, the 'who I am' at the time. I read this as a good bye script and after that I whispered 'bye bye black bird' ... The story between me and the one was just like what Paulo write down on this novel.


From Maria's diary, on the eve of buying her ticket back to Brazil:

Once upon a time, there was a bird. He was adorned with two perfect wings and with glossy, colorful, marvelous feathers. In short, he was a creature made to fly about freely in the sky, bringing joy to everyone who saw him.

One day, a woman saw this bird and fell in love with him. She watched his flight, her mouth wide in amazement, her heart pounding, her eyes shining with excitement. She invited the bird to fly with her, and the two traveled in the sky in perfect harmony. She admired and venerated and celebrated that bird.

But then she thought: He might want to visit far-off mountains! And she was afraid, afraid that she would never feel the same way about any other bird. And she felt envy, envy for the bird's ability to fly. And she felt alone.



And she thought: 'I'm going to set a trap. The next time the bird appears, he will never leave again.' The bird, who was also in love, returned the following day, fell into trap and was put in a cage. She looked at the bird every day.

There he was, the object of her passion, and she showed him to her friends, who said: 'Now you have everything you could possibly want.' However, a strange transformation began to take place: now that she had the bird and no longer to woo him, she began to loose interest. The bird, unable to fly and express the true meaning of his life, began to waste away and his feathers to lose their gloss; he grew ugly; and the woman no longer paid him any attention, except by feeding him and cleaning out his cage.
One day, the bird died. The woman felt terribly sad and spent all her time thinking about him. But she did not remember the cage, she thought only of the day when she had seen him for the first time, flying contentedly amongst the clouds.
If she had looking more deeply into herself, she would have realized that what had thrilled her about the bird was his freedom, the energy of his wings in motion, not his physical body.


Without the bird, her life too lost all meaning, and Death came knocking on her door. 'Why have you come?'she asked Death. 'So that you can fly once more with him across the sky,' Death replied. 'If you had allowed him to come and go, you would have loved and admired him even more; alas, you now need me in order to find him again.'








Eleven Minutes - Paulo Cuelho

June 10, 2009

Chanson de Porong

May, 29th 2006, massive hot mudflow from beneath Porong's soil reached the surface through the drilling pipe of Lapindo Brantas, Porong - East Java Indonesia. The hot mudflow then turns the surface into a sea of mud. Houses, farmings, ranches, industrial area, government's offices, banks and transportation wounded badly.

The life of Porong's residents has been changed from that date until now. Just like a ship without sailor, drifts in the sea of mud with no directions to go. The hot mudflow forced them to leave their comfort home sweet home and all belongings hopelessly.

The mud has flooding everything except one thing, a hope for a bright new day in the future, on a peaceful dwelling area just like the one they used to have. Just before the greed of human being for the natural resources destroy everything as now.

January 27, 2009

Taman Nasional Kelimutu

Paket penuh warna dari Ende - Flores

‘kelimutu sai nala mulu

tiwu telu so’o jole jeku

tiwu telu dedu

polo, bupu, nuwa muri jemu’



Sebait folksong suku Lio ini mengisahkan tentang kekaguman masyarakat lokal akan pesona ‘danau tiga warna’ yang terletak di puncak Gunung Kelimutu (1.650 mdpl), yang adalah sebuah gunung berapi berstatus aktif di salah satu sudut desa Moni, Ende – Flores, Nusa Tenggara Timur. Tiga danau yang juga kemudian menjadi logo resmi Kabupaten Ende ini terbagi atas Tiwu Ata Polo, Tiwu Ata Mbupu dan Tiwu Nuwa Muri Ko’o Fai dengan keunikan warna air danau yang berubah-ubah, pemandangan alam pegunungan yang memukau dan sebuah legenda yang tersimpan di dalam kepercayaan masyarakat suku Lio menjadi paket yang berharga untuk dimiliki.


How to get the package?

Saya memulai perjalanan menuju Kelimutu dari kota Ende, salah satu kota kecil di Pulau Bunga (Flores) yang pernah menjadi penjara bagi Sang Putera Fajar (1934-1938). Saya lahir dan dibesarkan di kota kecil ini, tidak sulit bagi saya untuk beradaptasi dengan panas dan terpencilnya Ende tanpa harus merasa bagai elang yang telah dipatahkan sayapnya.

Ende bisa dengan mudah diakses melalui jalur udara dan laut. Sejumlah penerbangan melayani rute menuju kota ini dari Denpasar, Surabaya, Jakarta dan Kupang. Kapal-kapal penumpang siap mengantar dari Bali, Surabaya dan Semarang. Dari Ende, jalanan berliku, menanjak dan sempit masih harus dilalui untuk bisa tiba di Moni; gerbang menuju Danau Kelimutu. Saya sering berhenti sebentar ketika pemandangan tebing dan jurang dihiasi air terjun dan sawah terasering penduduk setempat menggoda hati untuk segera mengabadikannya.

Beberapa homestay dengan tarif murah menghiasi sisi-sisi jalan Desa Moni yang terletak di kaki Gunung Kelimutu. Sebuah warung menawarkan sesuatu yang tidak bisa saya tolak, arabica panas tanpa gula yang sangat cocok untuk dinikmati di tempat berhawa dingin seperti Moni yang mirip Dataran Tinggi Dieng di Jawa Tengah. Diseberang jalan, beberapa pemuda lokal asyik dalam permainan nine ball, sementara yang lainnya mengantri karena satu-satunya meja sedang dipakai atau sekedar menanti wisatawan yang berminat menggunakan jasa antar-jemput dengan roda duanya. Sebagian besar dari mereka mencari tambahan uang dengan menjadi guide dan ojeg yang siap mengantar anda hingga ke puncak Gunung Kelimutu atau lokasi sekitar. Terkadang juga mereka menyewakan sepeda motornya dengan harga yang bisa dinego. Cangkir menyisakan ampas yang hampir seperempatnya, sementara 13 kilometer melewati hutan cemara dan tumbuhan pakis masih harus ditanjaki agar dapat menikmati paket yang menanti untuk dicicipi.


Enter the Gate

Setelah membayar pass fee saya tiba di sebuah gerbang batu yang dalam bahasa setempat disebut Perekonde yang menjadi istana bagi Konde Ratu, sang penguasa Kelimutu yang menentukan danau yang pantas bagi orang Lio ketika mereka meninggal. Sirih, pinang, rokok, telur ayam kampung dan sejumlah uang dipersembahkan dalam sebuah ritual untuk menghormati Konde Ratu dan memohon agar arwah sanak keluarga yang mendahului untuk selalu dilindunginya dan juga agar para leluhur memberkati kehidupan mereka dengan menjauhkan bala dan memberikan panen yang berlimpah.

Masyarakat Lio percaya bahwa Tiwu Telu atau Danau Tiga Warna adalah tempat peristirahatan terakhir bagi arwah, dan Konde Ratu bertugas menempatkan arwah-arwah ke dalam danau yang tepat, sesuai dengan amal perbuatan semasa hidup. Tiwu Ata Polo adalah milik arwah yang semasa hidup melakukan kejahatan, termasuk didalamnya tukang tenung, Tiwu Ata Mbupu adalah persemayaman bagi orang bijaksana (tetua) dan Tiwu Nuwa Muri Ko’o Fai adalah persemayaman bagi para remaja. Kepercayaan ini masih dipegang teguh oleh masyarakat Lio dan kesakralan Gunung dan Danau Kelimutu masih dijaga hingga saat ini.

Angin dingin pegunungan berhembus lembut, hawa mistis menyelimuti pemandangan Perekonde membuat saya tidak ingin berlama-lama di tempat itu. Saya kembali melanjukan perjalanan menuju puncak tanpa lupa berdoa memohon alam untuk berbaik hati dengan tidak menurunkan kabut tebal di puncak sana.


Trinity in a box

Alam mendengar doa, langit biru cerah menyambut saat sampai di puncak Gunung Kelimutu. Tiga danau dalam satu lokasi yang terbentuk oleh aktifitas vulkanik Gunung Kelimutu dengan kejaiban yang melegenda di depan mata, sebagaimana disebutkan di cover paket yang ditujukan untuk semua orang. Seorang pengunjung tak henti mengucap wunderbar, sementara yang lainya sibuk mencari spot terbaik, mengkomposisi melalui viewfinder untuk kemudian menekan shutter. Beberapa pasang muda mudi bersenda gurau di sekitar lereng yang ditumbuhi Uta Onga (begonia kelimutuesis) dan Turuwara (rhododendron reschianum) tanpa menghiraukan peringatan zona berbahaya yang ada di depan mata. Sementara yang lain berusaha membuat foto bukti kunjungan wisatanya untuk bisa dipajang di album pribadi, blog, friendster dan mungkin juga facebook.

Saya mulai menjelajahi area Kelimutu dan tanpa sadar saya mengabaikan peringatan yang sama. Udara dingin bercampur aroma belerang yang kental mengingatkan saya untuk kembali ke rute yang disediakan. Warna Biru muda cerah di Tiwu Nuwa Muri Ko’o Fai segera menggerakan jemari untuk memotret sambil memutar-mutar circular polarizer. Disebelahnya, Tiwu Ata Polo yang berwarna hijau tua tak terlewatkan oleh kamera. Menurut catatan Balai Taman Nasional Kelimutu, konon celah antara Tiwu Ata Polo dan Tiwu Nuwa Muri Ko’o Fai masih bisa dilalui pengunjung untuk bisa menikmati keindahannya lebih dekat. Namun gempa bumi yang terjadi pada tahun 1992 silam, mengakibatan luas setapak menjadi mustahil untuk dilalui lagi. Bagi masyarakat Lio, fenomena ini dibaca secara lain. Beberapa tetua menegaskan ini pertanda bahwa anak muda jaman sekarang (Nuwa Muri berarti remaja) makin ‘akrab’ dengan kejahatan (Ata Polo bermakna orang jahat).

Di sudut lainnya Tiwu Ata Mbupu menunggu untuk dinikmati dengan mendaki sekitar 800 meter sambil menapaki sejumlah anak tangga. Baru setengah jalan, saya sudah disuguhi pemandangan indah dua danau sebelumnya lengkap dengan panorama alam yang menakjubkan. Saya buru-buru agar bisa sampai pada puncak dimana sebuah tugu dibangun sebagai monumen akan keajaiban alam Kelimutu. Dari sana pemandangan yang disajikan lebih memukau dari yang saya bayangkan. Tiwu Ata Mbupu yang berwarna hijau kehitaman dikelilingi cemara gunung yang subur menyempurnakan pemandangan yang ada.


Reflection on Kelimutu

Saya duduk di sebuah batang pohon cemara yang telah mati, melempar jauh pandangan ke arah pedesaan yang ada di lembah antara Gunung Kelimutu dan Gunung Kelibara. Sebuah BTS milik sebuah organisasi pelayanan telekomunikasi berdiri gagah di puncak sebuah bukit diantara ladang yang menghijau. Paket kebanggan milik masyarakat Ende-Lio telah dinikmati. Di satu sisi saya merasa bangga sebagai sorang yang bisa memilikinya. Namun di sisi yang lain saya merasa ada yang kurang dari semua yang telah saya nikmati. Pengelolaan Kelimutu belum maksimal adalah hal kecil yang mengganjal.

Kelimutu adalah potensi besar bagi masyarakat Ende-Lio, semua akan setuju tentang hal ini termasuk Pemerintah Daerah Ende sendiri. Dalam kacamata ekonomi dan merujuk Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999, Kelimutu bisa memberikan sumbangan bagi Pendapatan Asli Daerah dengan jumlah yang tidak sedikit. Hal ini tentu saja jika maksimalisai pengelolaan Taman Nasional Kelimutu diperhatikan dengan seksama. Infrastruktur yang menunjang adalah hal yang pertama untuk diperhatikan. Sarana penginapan, transportasi, komunikasi dan informasi hingga penanganan sampah masih merupakan pekerjaan rumah Pemerintah Daerah untuk segera diselesaikan.

Sambil menghela nafas panjang, saya berdiri dan melangkah menaiki anak tangga tugu Kelimutu. Hamparan gunung dan bukit membentang dan Tiwu Telu menyisahkan satu hal lain dari keseluruhan paket. Ibarat kisah Kotak Pandora yang menyisahkan hope, Kelimutu menyisahkan takjub akan karya Sang Pencipta yang spektakuler ini dan sebuah harapan untuk menikmatinya lagi. Sayapun terlarut akan pesonanya yang mengagumkan tanpa menyadari kabut yang mulai memainkan perannya, membungkus paket istimewa ini untuk dibuka dilain waktu.


‘eja, mai si kita walo. Wesia wola’ (sobat, mari pulang. Lain kali kita kembali) ajak seorang pengunjung dengan senyum ramah.

Dan saya pulang.


Karolus Naga


January 2009



Tips:

Untuk informasi lebih lengkap tentang Kelimutu bisa diakses pada web resmi milik Balai Taman Nasional Kelimutu: www.tnkelimutu.com. Kantor pusatnya terletak di Jl. El Tari, Nomor 16 – Ende. Telpon: +6238123405.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan juga:

A. Akomodasi dan Transportasi

  1. Kelimutu bisa diakses baik via Ende ataupun Maumere. Periksalah jasa penerbangan yang melayani rute langsung dari Denpasar dan Surabaya baik ke Ende maupun Maumere.
  2. Ada beberapa penginapan dan jasa tour and travel berlokasi di Moni yang memiliki website. Pada low season tarif yang ditawarkan sangat terjangkau.
  3. Di Ende terdapat 3 bank nasional, BNI, BRI dan Danamon. Tiga bank ini menediakan jasa ATM namun hanya berlokasi di kantor cabangnya di Ende.
  4. Jika menyewa sepeda motor, sebaiknya dilakukan pemeriksaan terhadap kondisi motor yang ditawarkan. Medan berliku dan licin membutuhkan performa kendaraan yang maksimal baik dalam kenyamanan dan keamanan selama bekendara. Pastikan anda membawa sarung tangan.

B. Komunikasi

  1. Service provider yang menjangkau daerah Kelimutu masih sebatas milik Telkomsel. Jangan lupa menginformasikan sanak keluarga ataupun kerabat perkara pergantian nomer, sehingga anda masih bisa tetap berhubungan.
  2. Beberapa warnet tersedia di Ende bagi yang ingin tetap memeriksa e-mail dengan kecepatan yang memuaskan dan tarif yang terjangkau.

C. Persiapan Alat dan Raga

  1. Moni merupakan daerah dengan suhu rendah sekitar 20-25* celcius. Pastikan anda membawa jaket dan rain coat ketika menikmati pesona Kelimutu.
  2. Sepatu akan sangat membantu menghangatkan jemari kaki dan sepatu khusus tracking memberi anda pengamanan ekstra dari licinya medan di Gunung Kelimutu.
  3. Laluilah jalur yang disediakan demi keselamatan anda dan patuhilah aturan-aturan yang ada.

D. Lokasi Alternatif

  1. Di Moni terdapat dua buah air terjun yang hanya bisa dicapai dengan tracking. Mintalah pada pihak penginapan atau tour untuk membawa anda kesana.
  2. Beberapa kampung tradisional yang berada di sekitar Moni masih dipertahankan oleh masyarakatnya sebagai objek wisata yang sayang untuk dilewatkan. Anda bisa langsung melihat arsitektur dan ritme kehidupan masyarakat lokal. Akan lebih menyenangkan jika anda menginap di salah satu rumah penduduk disana.
  3. Sebuah pasar harian terletak tepat di tengah Moni. Keramaian, keunikan dan transaksi ekonomi menjadi hal lain yang bisa diabadikan melalui kamera.


Sedikit catatan:

Musim kemarau adalah saat yang paling tepat untuk berpetualang ke Kelimutu ujar seorang sahabat. Banyak pengunjung yang kecewa sebab setelah sampai di puncak, kabut tebal menyelimuti tiga kawah Gunung Kelimutu. Beberapa pemuda lokal sempat menyarankan waktu terbaik untuk menikmati keajaiban Kelimutu adalah saat fajar menyingsing (sunrise). Karena saat itu pergantian warna langit dan kabut yang malu-malu menyingkir dari ketiga kawah menyajikan pemandangan yang spektakuler. Saya mencobanya namun apa lacur, hawa dingin Moni lebih nyaman dinikmati dibalik selimut wool kamar penginapan. Apalagi saat bangun tidur, segelas kopi panas menanti di meja lengkap dengan goreng pisang dan singkong rebus.

Namun sayang, keindahan dan kesucian Kelimutu dirusak oleh penikmatnya sendiri. Aturan-aturan yang diwariskan sejak dahulu kala dilanggar oleh wisatawan. Sayangnya dalam pengamatan saya, pengunjung lokal sendirilah yang menyumbang banyak sampah bagi Kelimutu. Fandalisme dan kebiasaan membuang sampah tidak pada tempatnya menjadi masalah utama yang entah mengapa susah sekali untuk dihilangkan dari masyarakat negeri ini.

Bagi yang ingin membawa oleh-oleh souvenir berupa tenunan lokal, bisa menemukannya di area parkir Taman Nasional Kelimutu dengan harga berkisar 50.000 hingga 300.000 rupiah. Harga sangat tergantung ukuran, tingkat kesulitan disain dan bahan yang digunakan. Di Ende sendiri tenunan tersebut dijual di wilayah pertokoan sekitar area Pelabuhan Ende dan di sejumlah art shop yang ada di jalan Soekarno dan Ahmad Yani (depan bandara).


November 13, 2008

Semalam di Kuta

from Lost travel log ...

Beberapa hari lalu saya membersihkan kamar yang makin berdebu terutama di rak buku yang makin penuh dan paling banyak debunya. Seharian penuh membongkar dan menata ulang semua buku. Kemudian secara tak sengaja ketemu sebuah buku yang sudah lama hilang, well misplace actually. travel log tersayang bersampul pink (jangan komen soal warnanya) ... isinya macam macam, dari cerita perjalanan ke berbagai tempat, Bali, Makasar, Kalimantan, Papua hingga rentetan curahan hati (cieeee cuhat suit suit) dengan berbagai nama yang ada. Sedikit mengenang kembali masa masa lalu, senyam senyum sendiri sambil geleng-geleng kepala ... selama ini ternyata ada di rak buku. kirain sudah hilang di Surabaya bersama tas yang lainnya di Juanda. hahaha ....

good bye to old times, welcome to real world ... ada satu yang paling dikenang.

Semalam di Pantai Kuta - Bali
Rabu, 08 Juni 2005
10:35 pm WITA arrived at Ngurah Rai
Satu cangkir capuchinno panas sudah cukup buat ilangin ngantuk... belum 15 menit duduk ada orang Korea baru tiba dan langsung beli 5 botol pilsenner.
Prang .... ! satu botol pecah di lantai, slipt kayaknya. sontak semua kaget da melihat ke arahnya ... semua orang kemudian tertawa, include me... what a freak !
my cell phone ringing .... bla bla bla bla bla for half hour
sudah sejam nongkrong disana, saatnya bergerak. menikmati malam dingin di negri para dewa dewi. buka locker penitipan isi data sana sini, x-ray check dan segala macamnya ... keliling kompleks bandara dengan jalan kaki dan ditemani rokok sebungkus serta fm10 dengan horicolor didalamnya. tidak ada yang bisa membuat shuter dipencet, walau everything is jepretable ... jalan dan jalan sampai lelah. sendiri di pintu masuk Ngurah Rai Airport ... patung itu lama-lama makin mengerikan kalau klamaan diliat. hihhh ...

Kamis, 09 Juni 2005
00:52 am WITA masih di jalanan sekitar Ngurah Rai.
Kuta ... maybe its a great place to spent the night. but it's windy and cold, so I go back to the airport. Sat on its chair, watching the worker that renovating one of its building, hearing local music plays all nite long...
saat ini mungkin main issue yanag saya hadapi adalah lapar. yep, cacing-cacng tidak tau diri di perut mulai demonstrasi, mirip anak kampus aja. Jam segini dapat makanan dimana??? satu2nya cafe yang buka 24-7 hanyalah Bli's. It serves Pizza ... dooh I hate that junk food. trying to close my eyes ... till latter when it starts to crowd. I think so ....

satu jam kemudian ....
belum bisa tidur, demo di perut jadi anarki ... mampus !!
how can I spent this cold night ??? KUTA !!
so I decided to walk to Kuta Beach, perhaps I could stop by on Legian avenue or perhaps Poppies Lane for some warmy "circumstances" ... :P owh miss her so much when talk about Poppies Lane ... apa kabar yang tuh iblis betina dari sakura ?? udah punya anak kayaknya ... sepanjang perjalanan diskusi dengan diri sendiri. dasar solitarian ...

Di pertigaan apa perempatan depan ada keraaian.. ah pasar tradisional pagi hari sudah bergulir roda ekonominya. masih beberapa bapak dan ibu yang terlihat mulai bersih bersih sekitar lapak ... siap siap terima pelanggan. loh, koq ada Circle K dipojokan hahahahaha .... ada uga toh di sini. langsung masuk dan beli beberapa bungkus roti, mineral water dan satu roll fuji superia, andalan para pelancong ... sambil ngabisin roti di selasar cK negak air karena emang haus banget ... gila enam kilo lebih kayaknya dari bandara ke sini.
melanjutkan perjalanan ke Legian ... hmmm sepi, tidak ada keramaian. hanya ketemu beberapa bule mabok berat, bahkan ada yang jackpot dijalan ... urggghhh
balik arah langsung menuju pantai kuta ....
waktu menunjukan pukul 3:19 am ...
lumayan sepi. awal tahun 2002 pernah di kondisi yang sama, pagi hari di Kuta ... cuma waktu beramai-ramai ... sekarang hanya terlihat beberapa lifegurad dan beberapa beach boys yang lagi asik bercanda dan menghangatkan diri dengan arak bali kebanggaan ...
I get my self to the sand, berbaring bentar dan have my own paradise. some dude thought that I am drunk, he asked are you all rite mate ??? I replied "I'm on seventh heaven. so dont disturbed me, mind your own matter. jawaban itu malah bikin mereka makin yakin kalo saya sudah teler parah ... hahaha padahal cuman gara-gara kaki pegel dan lost power. I do the sand therapy for the time ...
angin laut yang berhembus makin sadis dan dingin.... membunuh dengan pelan, kayak rokok yang baru abis sebungkus. cari tempat berlindung dapet beberapa opsi ... lifeguard post, Hard Rock atau selasar the Wave ... hmm selasar the wave lebih menjanjikan. duduk disana, buka travel log dan mulai nulis soal ini ... make a call etc etc sampai akhirnya jam 05:30 am pindah ke Pantai Kuta lagi ... bentar lagi terang. nikmati pemandangan pantai sambil baring2 di pasirnya yang mulai hangat ....
two sporty chicks lari pagi, pemandangan jadi indah ... makin ramai. ada yang sekedar menikmati udara pagi di pesisir pantai, ada yang olahraga, ada yang cuci mata dan sebagainya ...
anarki dalam perut yang sedari tadi tidak dihiraukan sampai ke titik total chaos ... noleh ke kanan, hmmm ada ibu2 yang jualan mie rebus dan minuman hangat ... selalu ada aja keberuntungan. mie rebus itu jadi menu paling enak dari semua makanan dari chef terbaik sedunia. jujur saking enaknya langsung pesen 2, satu buat saya satu lagi buat aktivis di dalam perut ... dasar parasit.
maka dan menikmati susana pagi bersama ofice boy beberapa tempat yang ada di sekitar situ ... ini memang menu kelas bawah. banyak cerita dengan mereka, si ibu sendiri dari nganjuk ... langsung aja keluar jurus lama biar di diskon .. ngobrol dengan bahasa jawa timuran hahahahaha
manjur juga, dengar cerita saya malah si ibu gratisin kopi pahit... cihuy dunia emang indah kalau semuanya gratis ...

sial ... sekarang jam 8:30 am ... ada flight jam 09:00 am ...
buru-buru hampir ga bayar mie rebus dan beberapa potong sukun, singkong dan pisang goreng :P
langsung naik taksi yang mangkal di depan HR menuju airport ... sukurlah pagi hari masih sepi jalanan ....
.... masih ada 3 menit, ambil tas di locker, check in dan beberapa menit berikutnya sudah tenang di dalam pesawat. seorang pramugari membantu menyimpan tas dan dengan senyum ramah dia berkata "maaf pak, apa bapak butuh tissue?" heh .. bapak??? tissue ??? buat apa ...
ternyata oh ternyata ... dipipi kanan masih ada pasir yang dibawa dari pantai Kuta hahahahahahahahaha

tidur dalam perjalanan dan sampai di tujuan dengan selamat.

H. Hasan Aroeboesman - Ende, Flores. Juni 10th 2005

untuk hari lalu di pantai kuta - KN

October 21, 2008

Kisah Temanku dengan Sampah

semuanya berawal dari sebuah pertanyaan sederhana 'siapa aku?'
Seorang pengembara sedang duduk di barisan paling belakang pada sebuah restoran siap saji di kawasan sarinah. tiga kursi yang mengelilingi sebuah meja bundar di depannya masih saja kosong. hanya sebuah asbak dan secangkir kopi panas di atas mejanya. sesekali dia melirik ke arah jam di dinding ruangan itu yang entah kenapa bergerak sangat lambat, lebih lambat dari detak jantungnya sendiri. aneh. secangkir kopi tidak menunjukan efeknya sebagaimana wajar. si pengembara masih terdiam, menunduk dan sesekali menghela nafas panjang bersama kepulan asap rokok rendah nikotinnya. wajah lusuhnya lebih sering terlihat memandangi dengkulnya sendiri. otaknya berkelana dalam pengembaraan dan matanya penuh dengan kekosongan. kosong bagaikan miliaran butir pasir di tepi laut.

hei !! aku menghardik. membuyarkan perjalanan spritualnya. dia mengadah dan melemparkan senyum... koq lama amat sih, dah hampir jadi fosil neh. sorry, sorry baru aja selesai. ya gapapa, tapi bayarin minum gw yah. OK, whatever u want!... kami berpelukan. agak aneh memang, dia memeluk diriku saat kutawarkan sebuah jabatan tangan. makin lama pelukannya makin erat, seolah ada kelegaan di dalamnya. perasaan yang sama ketika aku dipeluk ibuku yang baru kutemui bulan lalu setelah sembilan tahun tak bertatap muka. namun aku dan si pengembara sering bertemu muka, bahkan empat hari yang lalu kami masih bercanda ria di rumahnya. ayo duduk, gue mo cerita. dia kembali duduk dan aku memilih kursi yang tepat di depanya. tak lama berselang seorang gadis kurus datang dan menyodorkan menu. aku memesan segelas kopi dan kentang goreng. menu standar buat ngobrol di malam dingin. lu lagi kenapa? aku bertanya padanya. si pengembara tersenyum, lalu menunduk. ada masalah apa? kembali aku bertanya, menyelidiki. perubahan mimiknya tak dapat menipu mataku. aku tahu kalau dia sedang mengalami masalah yang sangat berat. mungkin dengan pekerjaanya, keluarganya atau dengan dirinya sendiri. aku tak mau lama menunggu jawabnya, sama halnya dengan menunggu lama secangkir kopi pesananku. dan betul saja, ketika kopiku telah hadir di atas meja, ia mulai membuka mulutnya. siapa aku? ... siapa aku bagimu? dia bertanya padaku. aku terkejut dengan lontaran pertanyaan macam itu. kopi yang baru saja kuseruput tidak bisa bergerak sesaat. jam dinding itu berhenti berdetak dan jantungku berpacu bagai piston mobil balap yang dikebut saat start. kami bertatapan untuk lima detik dan lima detik itu memang tidak pernah ada karena waktu tidak pernah bergerak saat ia bertanya. koq nanya-nya begitu? cuman pingin tahu aja, katanya. lu pernah beli tempat sampah gak? belum selsai pertanyaan pertam terjawab, dia bertanya lagi. kali ini sebuah pertanyaan yang aneh menurut pikiran ku yang struktural ini.

Tempat sampah? eee ... kemaren gw beli tempat sampah biru. standarlah buat meja kantoran. tau kan? yah.. aku menjawab sambil menyalakan rokok. emang di kantor lu ga disediain tempat sampah? bukan. bukan buat kantor. tapi buat kamar tidurku. loh koq ... lagi lagi aku tak bisa memahami logikanya. jika ruang tidur dan tempat sampah disatukan, maka pastinya banyak sampah yang dihasilkan di ruang tidur. dan karena ruang tidur adalah tempat dimana aktifitas yang menghasilkan sampah hampir tidak ada, tentunya tempat sampah itu cuman jadi pajangan belaka. ngapain taruh tempat sampah di kamar tidur?

sekitar limabelas tahun lalu aku pernah tidur di sebuah tempat sampah yang sangat besar. di dalamnya hanya ada aku dan bangkai, eh... mayat seorang laki-laki. aku menyampah, dia juga. kami menyampah dengan penuh hasrat. demi sebuah kata sampah. yah sampah untuk masa nanti. Dan dia mulai berceritera ....

Lalu kucium lembut keningnya, dan kubisikan padanya “trust me you are always on my mind”.

Wahai sahabat-sahabatku yang tersebar di kota itu, bila kalian melewati kuburan di dekat rimbun cemara itu, masuklah dengan mulut terbungkam dan melangkalah perlahan agar derap kakimu tidak mengganggu tidur orang yang sudah mati itu. Berhentilah dengan rendah hati di kuburan sahabatku dan sampaikan salamku pada tanah yang menutupi kuburan. Sebutlah namaku dengan desahan yang dalam lalu katakan pada dirimu “di sini segala harapan dan kenangan seorang Florentina, ia hidup laksana seorang tawanan. Dengan serta merta dia kehilangan kegembiraannya, menampakan air mata dan melupakan senyumannya.” Wahai sahabat-sahabatku, aku mohon kepada kalian atas nama seluruh gadis-gadis yang kepada mereka hati kalian pertaruhkan, agar meletakan karangan bunga duka cita di atas makam orang yang kuhormati itu, barangkali, bunga-bunga di pelataran kuburan sahabatku itu, menjadi laksana setetes embun yang dititikan pelupuk sang fajar pada bunga mawar yang layu. Diadaptasi dari The Broken Wings, karya Khalil Gibran

Hari itu tanggal 2 November tahun 1997, cuaca sangat cerah seakan memberkati kota kecil itu. Sayup-sayup terdengar lantunan I Will milik Beatlles yang dibawakan ala acoustic. Sementara itu sinar mentari menyembul melalui celah jendela mengusik mimpi. Perlahan terbangun, mencari sisa tenaga untuk dapat melebarkan kelopak mata, melepaskan kantuk yang masih ada. Berjalan gontai ke kamar mandi menjalankan ritual pagi. Sementara itu Joe Crocker dengan You’re So Beautifull menjadikan pagi itu sebagai pagi paling indah dalam sejarah hidup seorang anak manusia. Seperti biasanya, secangkir kopi sudah tersedia di meja dengan dua potong honey milky toast. Kunikmati itu sambil merencanakan kegiatanku di hari yang indah itu. Hari ini aku ingin ke pantai. Hari ini aku ingin ke pantai, bercanda dengan camar dan menikmati hangatnya ombak di sela jari kakiku. Hari ini aku ingin ke pantai, kubawakan seikat mawar putih dan kutancapkan di putihnya pasir lalu kuteriakan kebodohanku. Hari ini aku ingin ke pantai, ahh tidak... sebaiknya hari ini aku mati saja.

Yah ... mati, itu lebih baik. Tapi aku ingin mati di pantai. Disaksikan oleh camar dan diseret ombak. Sebaikanya aku mati di pantai, tertimbun pasir. Tapi, aku tidak ingin tangisku terbawa angin. Aku tidak ingin teriakanku disebarkan angin dan camar-camar itu. Aku tidak ingin ombak menggelitikku dan mentertawaiku. Biar saja pasir yang menutupiku, pasir yang putih. Aku hanya ingin pasir putih, agar tidak tersesat dalam kelamnya liku hidupku. Dua potong roti tadi sudah ludes, kopi hitam yang agak pahitpun tinggal ampasnya saja yang semakin pahit saja. Sebelas jam sudah hari itu berlalu, tapi aku masih terpenjara dalam ruang empat meter persegi itu. Persiapan telah komplit. Saatnya pergi. Saatnya kembali ke dunia nyata. Saatnya kembali menghadapi kenyataan. Dengan sigap C90s buatan tahun 1982 itu mengantarku. Mengantarku pergi ke tempat tidur sahabatku itu. Disana dia masih saja tertidur, masih saja terus tenggelam dalam indahnya mimpi. Ahh seandainya aku bisa ikut melihat mimpinya atau sekedar hadir dalam mimpinya tentu akan bahagia diriku. Tapi itu tidak akan mungkin terjadi, aku tidak mungkin melewati batas ke-pribadi-an-nya. Mimpi adalah hal yang paling privat bagi seorang manusia. Jadi biarkan saja imajinasi liarnya terbang dan berputar aku tidak ingin mengaturnya. Karna hanya disanalah dia merasa bebas, merdeka dan utuh sebagai manusia. Sadar akan kehadiranku, dia terbangun dan tersenyum padaku. Seakan berkata “aku sudah menunggu kehadiranmu” dia mempersilahkan aku duduk di sampingnya.

“Hai” sapaku padanya namun tidak sepatah katapun keluar dari bibirnya. Dia hanya tersenyum kecil melihat diriku yang tampak lusuh. “Cuma sedikit lelah koq, kurang tidur, bukan masalah besar”, sambil duduk disampingnya aku membukakan minuman ringan kesukaanya. “hari ini lagi pingin ke pantai, lihat ombak. Camar-camar disana pasti sudah kangen” ceritaku padanya, memulai percakapan. “apalagi cuaca cerah begini, airnya pasti hangat. Pasti banyak ikannya, mancing yuk” ajak-ku padanya yang sedari tadi masih tersenyum melihatku sembari menikmati minumannya. “ayo ikut ya, nanti disana kita berendam sepuasnya. Abis itu kita makan ikan hasil pancingan kita. Trus tiduran di bawah naungan pohon kelapa. Mau ya... ikut ya..” aku merengek, memohon satu anggukan darinya. Ah dia masih saja tersenyum, memandangku dalam-dalam. Aku bia lihat di mata bulatnya bahwa dia merasa lucu akan sikapku yang tidak biasa ini. “hari ini aku lagi ingin ke danau, penasaran. Pengen tahu sekarang warnanya apa saja” tiba-tiba dia memecah keheningan antara kami berdua. “sudah setahun aku tidak ke sana lagi, pasti sudah lain warnanya” lanjutnya lagi. “iya yah.... sudah lama juga, kira-kira warnanya apa sekarang?” sambil menatap birunya langit dia menjawab ”paling biru, putih trus hitam” ... ”ah mana mungkin” tandasku “paling warnanya sekarang ungu, hijau trus merah” lanjutku lagi. “bisa jadi, tapi kalo berangkatnya sekarang pasti kita ga bisa liat apa-apa, jam segini kabutnya tebal” katanya dengan perasaan sedikit menyesal. Lalu kami bercerita dan bercerita tentang apa saja. Banyak hal yang kami bicarakan. Mungkin hari itu adalah hari paling komunikatif antara kami berdua. Hari paling diskustif yang pernah kami alami.

Tak biasanya kami berbincang dengan lancar, biasanya juga dia hanya terus diam mendengarkan berbagai suara yang keluar dari mulutku. Namun hari itu, dia aktif sekali bercerita dan terus bercerita dan sesekali dia meminta tanggapanku. Hari itu indah sekali. Larut dengan obrolan tentang masa lalu, tentang rencana masa depan dan tentang kegiatan akhir-akhir ini membuat kami tak menyadari panas dan teriknya sang surya. Sementara itu jam di tangan sudah menunjukan pukul tiga sore. Sudah tiga botol minuman ringan yang dihabiskannya, sementara hampir empat botol root beer, dua bungkus rokok dan beberapa bungkus kacang sudah kuhabiskan. Sore itu udara memang terasa panas namun belaian lembut angin seakan mengajak untuk terbang ke alam mimpi. “Gal, kann ich hier schlafen?” tanyaku padanya “sebaiknya begitu, jangan paksakan untuk pulang. Nanti kamu kenapa-napa.” Jawabnya. Setelah mendapat persetujuan darinya, saya merebahkan diri disampingnya. Tampaknya belaian angin dan minuman fragmentasi tadi sudah bereaksi. Dia kemudian berbaring disampingku, matanya terus menatapku. Harus kuakui, tatapannya telah membunuh waktu, membuka dan menelanjangiku. Tatapannya saat itu sangat lain. Seakan ingin berterimakasih pada diriku, seakan ingin mengajakku pergi ke surga itu, tempat para bidadari bernyanyi di lautan cahaya. Tak kuasa sukma ini ditelanjangi oleh tatapan matanya.

Seandainya kubawa trip35 ku akan kuabadikan tatapannya itu. Akan kuabadikan wajah itu. Tapi biarlah, segini saja aku sudah puas. Tapi masih aku ingin menguak misteri tatapannya itu. Lembut membelaiku dan seakan menaungiku dari teriknya sinar mentari. Aku terbawa ke gerbang antara, mata ini terasa berat namun sukma ini masih ingin menikmati tatapannya. Dia meletakan kepalanya di dadaku, memelukku hangat. Seakan tak ingin melepas satu sentipun bagian dari raga ini. Lalu dia menyanyikan lagu Always On My Mind-nya Elvis Presley, semakin membuatku terhanyut ke alam mimpi. Namun bibir ini tanpa sadar ikut menyanyi bersamanya.

“And maybe I didn't treat you Quite as good as I should have Maybe I didn't love you Quite as often as I could have Little things I should have said and done I just never took the time You were always on my mind You were always on my mind And maybe I didn't hold you All those lonely, lonely times And I guess I never told you I'm so happy that you're mine If I made you feel second best Girl I'm sorry I was blind You were always on my mind You were always on my mind Tell me, Tell me that your sweet love hasn't died Give me, give me One more chance to keep you satisfied I'll keep you satisfied” Lalu kucium lembut keningnya, dan kubisikan padanya “trust me you are always on my mind”.

Kini aku telah berada di ruang empat meter persegi. Disamping kiri ada adikku. Aku sedikit terkejut. Ahh .. baru kusadari sudah sejak jam sebelas siang aku disana, sejak jam tiga sore aku terlelap, dan sekarang jam sembilan malam. Sayup-sayup kudengar suara dari radio memainkan lagu always on my mind... lalu adiku berkata padaku ”Kakak ketiduran lagi di sana. Untung saja tadi oom Dion telpon, Bapak langsung jemput”. Kuacuhkan suara adikku itu, aku masih terus fokus pada suara yang diputar di radio itu. “Gal, you’re always on my mind.....” tak sadar aku membisikan kalimat itu dalam kekosongan pikiranku. Lalu adiku berkata “kak, dia sekarang sudah bahagia di atas sana, jangan rusak itu. Jangan rusak kebahagiaanya dengan merusak hidup kakak. Sayang juga sama orang lain yang sayang sama kakak. Seperti sayang kakak ke dia.” Tanpa sadar air mata mengalir, sesaat kemudian membanjiri bantalku. ....

Aku meneguk ampas kopi dari cangkirku, menyedot racun dari isapan terakhir rokoku. Terdiam sebentar, lalu kukatakan padanya 'besok nemenin beli tempat sampah yah, gue yang traktir' ... Pengembara menatap padaku, tersenyum dan berkata 'lu emang teman curhat paling unik say' ... kamipun pergi dari tempat itu, menyusuri malam sepi ibukota dan mencoba untuk tidak menyampah hingga pagi tiba.

October 20, 2008

Kisah Seorang Teman yang Sakit

Seorang teman menuliskan di buku hariannya, sebuah puisi yang kemudian dia bacakan di hadapanku. Puisi dari kekasihnya yang ditulis khusus untuk dirinya bukan puisi yang sering digunakan untuk mendekati yang lain dan juga ditulis orang lain. kekasihnya pernah menulis puisi untuk seorang dan kemudian menulis lagi puisi itu untuknya. temanku marah, katanya kau ingin memulai sesuatu yang baru dengan ku, kenapa masih kau pakai cerita masa lalumu dengan orang lain kepadaku. Temanku itu memang egois, namun bukankah hal itu telah disepakati oleh dia dan kekasihnya, yang kepadanya, kekasihnya itu merasakan 'rumah' ... akupun mulai menjadi pendengar setia kisah teman terkasihku itu dengan diselingi kopi tubruk dan beberapa lintingan ganja di sebuah mata air yang jauh di pedalaman, dia pun berkisah ...

aku cinta kau seutuhnya ...
aku cinta kau apa adanya ...

aku cinta kau dengan segala isi di kepalamu

dan itu membuatku sakit perut
namun
aku tidak pernah
mencintai sakit
di perutmu

aku terlalu capek untuk mengulang hal yang sama

menjadi sakit terutama bagian perutku
menjadi akut walau sudah berkali kali apotik mengganti resep


kaukah itu? suara itu menghentikan langkah kaki. perlahan metutup pintu dibelakangnya, membuat derit kecil memanjang bagai coda paduan suara kathedral pada malam paskahnya yang mistis. sama mistisnya dengan ruang pengakuan dosa yang berukuran empat kali tiga. di tempat itu pula dosa berubah menjadi bayi phoenix, yang lahir dari abunya sendiri setelah terbakar habis. hanya saja ruangan itu bukan ruang kebangkitan dosa walau aroma kesakralan merebak dalam ukurannya yang sama, dikelilingi dinding beton yang tinggi dengan langit langit dari papan kayu kenari yang divernish. dan sebuah jendela yang lebih mirip pintu karena ukurannya pada sebuah sisi yang mengarah ke barat. yah, ini aku... . yah inilah aku yang kamu cari. Ia masih terus menatap. mata-mata indahnya harus tertutup rapat sehingga tak seberkas cahayapun dapat menembus untuk menciptakan imaji semu dalam nyata. yah mata cokelatnya. hanya itu yang rusak dari kesempurnaan karya agung sang abadi. puncak sebuah pencaharian bagi para pematung yang terobsesi akan kata indah. aku telah menunggumu. bahkan aku mungkin sudah tertidur jika tak mengawasi langkah kaki di lorong itu. kaki kaki kecil berlarian, dan terkadang membumbung setinggi enampuluh sentimeter. lebih tinggi dan tinggi lagi hingga akhirnya tak menyisakan jarak dengan rerumputan. kaki kaki kelelahan di pematang sawah. kaki kaki dengan betis dihiasi varises di pesisir pantai. tak ketinggalan kaki kaki molek dipenuhi panu dan kudis pada sebuah peragaan busana. borok dengan bau amis pasar ikan. tidak, baunya lebih mirip karbit. lebih bau dari nafasnya yang terengah engah saat mengarungi surga bersama seorang 'iblis betina dari negeri matahari terbit' yang lebih mirip terompet tahun baru yang ditiup di ruang pengap seukuran lagi lagi ruang pengakuan dosa. terompet tahun baru bergema bersahutan. si iblis betina yang kerasukan (bagaimana bisa iblis kerasukan sesuatu yang tak lebih setan dari iblis) mulai melengking. memantra dan mencakar. si pria mengenjan entah menahan perih di punggung karena cakar si iblis sudah makin dalam atau pekak dengan pekingan si iblis. dan cicak yang sedari tadi terdiam di langit langit berdecak panjang. seakan kagum atau iri pada yang ia saksikan. sial bagi si cicak, keesokan pagi ia harus berakhir menjadi sarapan arwana. peliharaan iblis betina dari negeri matahari terbit.

perlahan ia menghampiri suara itu. langkahnya lebih lambat, bahkan bagai tak berkaki ia bergerak ditiup angin. tepanya ditarik aliran udara yang keluar masuk dari hidung lawan bicaranya. aku pulang (nadanya lirih). yah aku pulang. aku pulang disaat libur natal yang salah tempo itu makin dibenarkan oleh tradisi banal. pulang kemana. tentu saja rumah. aku adalah burung elang yang selalu pulang ke rumah. setelah semusim berkelana memburu kelinci, ular, ikan bahkan anak ayam. aku akan pulang ke rumah. di luar sana aku adalah elang. disini aku tak jauh beda dengan anak ayam yang kusantap saat sakit di perutku dan dibagian lebih bawahnya semakin menjadi. anak ayam yang selalu ingin berlindung di ketiak ibunya. bersembunyi di balik anggun lurik kemerahan sang ibu. dan dia, yang matanya tertutup rapat selalu memberiku sesuatu yang kudapatkan dari pencarianku akan kata rumah. dia rumahku. dan aku pulang ke rumahku itu. wajahnya yang berkilauan memantulkan cahaya sore yang menyusup secara paksa lewat tirai jendela besar itu. kemerahan. dan motif lurik bayangan tirai menempel di sekujur tubuhnya.

sang elang pemburu melihat anak ayam itu bersembunyi disana.
dia hanya duduk disana. menghadap ke datangnya cahaya. seolah menikmati tampilan visual yang hanya bisa ia kenang. yah yang hanya bisa ia kenang. kaki kakinya tak dapat melangkah lebih jauh. tubuhnya keletihan. ia tumbang ke tanah. raut wajahnya kemerahan terkena sinar yang masih sama. ia hanya bisa mengenangnya. ketika itu tawanya selalu menghiasi hamparan di hadapan jendela itu. jejak kakinya selalu bisa kau temukan disana. di anatara rerumputan, di antara pasir dan juga batu karang. batu karang yang menggores kaki mungilnya. meninggalkan bekas dua belas jahitan di sela jari manis dan kelingking kirinya. namun tidak bisa membuatnya berhenti menjejakan kakinya untuk kesekian kali. senyumnya tersungging. bibirku menyentuh jidatnya dan kenangan itu berganti sadar. lalu, bagai lanchelot di hadapan guinevere aku berlutut di hadapanya. merengkuh jemari tanganya yang dua dengan lembut dan menciumnya. kuletakan di pahanya, kepalaku. kepalaku yang juga sarang seekor singa yang terus memakan otak kiriku. sementara otak kananku digerogoti asu. jawanya dicokot. asu yang aku pelihara sejak aku duduk di bangku esempe. adapun singa itu kudapati di sebuah hutan yang ditunggui seorang pria berjanggut dan bertubuh bungkuk. hutan yang kini sudah tidak berpohon dan berbatu besar itu kumasuki saat tergabung dalam komunitas pecinta alam kampusku. yah ... kampusku tercinta yang penuh dengan bau darah dan pesing. penuh dengan wajah-wajah asing yang saling mencurigai. belum lagi dedemit yang katanya menunggui kamar mandi lantai tiga bagian utara. konon kata satpam yang bertubuh gempal itu, penunggunya adalah wanita muda yang cantik jelita. yayuk namanya. sakit perut ku seakan kambuh saat kudengar nama yayuk disebut. mual hingga ke tenggorokanku. kepalaku masih terbenam di pahanya. tanganya membelai lembut rambutku.

perutku mual dan aku muntah muntah di kamar mandi lantai tiga bagian utara.
yayuk. nama yang membuat sakit di perutku kambuh. lebih lagi sakit itu menjalar ke bagian bawah perutku. gadis jawa tengah berparas cantik dan sintal itu lebih sering kulihat copyanya di iklan produk kecantikan ketimbang di kamar mandi lantai tiga bagian utara kampus keparatku. yayuk memiliki segalanya untuk jadi bintang dan ia punya segudang alasan untuk membuatku mual tak karuan bagai perawan yang dibuahi tiga bulan lalu. bukan di kamar mandi lantai tiga bagian utara. tapi di ruang praktek kamar gelap klub foto, lantai satu bagian utara. sang perawan yang untuk pertama kalinya melihat proses putih menjelma hitam pada kertas yang basah oleh cairan kimia terkulai lemas. air mata di pipinya membulir. perih di pangkal pahanya berpadu degup jantungnya yang tak tentu. kepalanya mengambang. dan kepalaku masih terbenam di antara pahanya. jemarinya meremas dalam belaian lembutnya.
dada sang perawan diremas kencang oleh ratusan kata dalam kepalanya. kukira itu dari hatinya. namun jauh setelah itu terjadi, kutahu kepalanya lah sumber suara itu. sakit di perut sang pria terobati. sorot matanya penuh kemenangan. menatap sang perawan yang terkulai. tapak mengelap noda merah di lantai. darah segar. kini perutnya tak sakit lagi. tapi kepalaku masih terbenam di antara pahanya.
bagian belakang kepalaku dicium lembut. nafasnya kurasakan di tengkuku. mengereksikan kuduku. tapi kepalaku masih terbenam di antara pahanya. anak ayam bersembunyi pada ibunya.

aku terkulai lemas. mual masih kurasakan. kupaksakan untuk keluarkan isi perutku. hasilnya, jariku melukai tekak dan perutku makin sakit. aku terkulai di kamar mandi lantai tiga bagian utara. namun dia masih berdiri disana. pria berjanggut bertubuh bungkuk dengan seekor singa yang nantinya memakan hampir sepertiga otak kiriku. singa itu menggeram padaku. melihatku sebagai mangsa. hei, bukankah orang tua itu ada disampingmu. mangsalah ia, tak mungkin ia melawan. tubuh bungkuknya tak mungkin mengelak dari terkamanmu. hai singa. beraninya kau masuk wilayahku. kamar mandi lantai tiga bagian utara adalah teritoriku. siapa kau berani mengusiku. darah keluar dari mulutku. pria tua berjanggut itu berseru dalam tata bahasa yang aku tak mengerti. makin tinggi nadanya dan saat sampai pada pitch tertinggi, singa yang sedari tadi berdiri disampinya menerkamku. mencabik tubuhku dengan kuku tajamnya. menggigit leherku sebagaimana singa gunung memangsa kambing penyakitan. aku diseret, dikoyak dan akhirnya tak sadarkan diri. terjatuh di antara pahanya. dan kepalaku terbenam disana.

sendirian. sendiri meratapi kegelisahan di antara pahanya. terlebih saat bayangannya hilang di antara penumpang Mandala jurusan denpasar. terbang dan hilang dibalik awan dihiasi petir dan menyimpan dendam pada bumi dalam air hujan. bangsat. kenapa sama dengan waktu lalu. lagi lagi kehujanan di bandara. soekarno hatta duaribulima memprokalimirkan kemerdekaan. laksda adisucipto duaribu enam masuk penjara. penjara dengan jam besuk tak tentu. bahkan hampir saja tak pernah dibesuk seandainya dokter tak mengumumkan perihal sakit di perutnya yang makin akut. harus dioperasi katanya sombong. diiris dengan pisau, dipotong dan dijahit. biar tak mengganggu lagi. tapi fakta berbicara lain. sang dokter salah operasi. bahkan sakit di perutnya makin menjadi. pada akhir duaributujuh sakit di perutnya kambuh. oleh sengatan kupu kupu gemuk di malam ibukota. seperti halnya kupu kupu, yang terbang kesana kemari, kupu kupu gemuk yang satu ini punya sayap yang bisa membawanya menikmati bunga tulip langsung di tempatnya berasal. sakitnya makin parah saat tahu kalau kupu kupu itu ternyata seedang sakit. bahkan hampir akut. jangan kau bayangkan kupu kupu gemuk ini seperti kupu kupu murahan yang bisa kau beli di perempatan jalan atau di pasar malam sebagai hiasan gantungan kunci. salah besar. dia jenis yang berbeda. dari genus yang langka. tidak hanya warnanya yang indah, sengatannya lebih berbisa dari kobra. kau tentu tahu kobra bisa membunuh dalam hitungan detik. tapi kobra tak bisa membuat kau melayang dalam sekarat. kau hanya bisa merasa hampa karena bisa tapi luka berbekas. kupu kupu gemuk ini bisa membuatmu merasakan nikmatnya sekarat tanpa meninggalkan luka. dan sekali lagi sakit di perut kambuh. sekarat dan menunggu ajal di parkiran. saat kupu kupu menyengat dalam jazz merah bangku penumpang. sudah kubilang kencangkan sabuk pengaman. ini akibatnya jika kau tak mendengar. sialan. mengutuk diri di antara pahanya.

seseorang mengetuk pintu. membuyarkan dialog bisu. kepalanya bangkit dari antara pahanya. jemarinya merenggang. mencium keningnya, berjalan menuju pintu. kembang api tahun baru menghiasi langit. merayakan berakhirnya waktu lalu dan memulai waktu baru. menyusun perlahan serpihan anima dari balik ilalang lereng merapi. mendendangkan pengharapan dalam lantunan balada blues bernada dangdut melayu.

aku tertidur pulas setelah temanku itu selesai berceritera, tak sempat kulalui pergantian tahun. lagipula tak banyak yang baru, tak banyak yang berubah. sudalah... aku bosan dengan perubahan. aku muak dengan perubahan apalagi ketika aku harus berubah dari pengembara menjadi tahanan rumah. lebih baik aku berkisah dengan sahabatku yang paling kukasihi ini, yang terbaring dengan sakit perutnya ...