August 1, 2006

semiotika = teori kebohongan

Secara etimologis istilah semiotika berasal dari bahasa Yunani “semeion” yang berarti tanda. Semiotika kemudian didefinisikan sebagai studi tentang tanda dan cara tanda-tanda itu bekerja. Umberto Eco mendefinisikan semiotika sebagai “sebuah disiplin yang mempelajari segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berdusta (lie)” Ferdinand de Saussure dalam Course in General Linguistics (1974) mendefinisikan semiotika sebagai “ilmu yang memepelajari struktur, jenis, tipologi, serta relasi-relasi tanda dalam penggunaannya di dalam masyarakat”. Pokok perhatian semiotika adalah tanda. Tanda itu sendiri adalah sebagai sesuatu yang memiliki ciri khusus yang penting. Pertama, tanda harus dapat diamati, dalam arti tanda itu dapat ditangkap. Kedua, tanda harus menunjuk pada sesuatu yang lain. Artinya bisa menggantikan, mewakili dan menyajikan. Tanda dan hubungan-hubungannya adalah kunci dari analisis semiotik. Dimana relasi tersebut kemudian memunculkan makna.
Semiotika sebagai ilmu mempunyai tiga fokus area pembelajaran, yaitu tanda, sistem yang mengaturnya, dan budaya dimana tanda tersebut berada. Tanda merupakan sesuatu yang bersifat fisik, bisa dipersepsi oleh indra. Umberto Eco menjelaskan lebih lanjut bahwa tanda adalah hal yang dapat diambil sebagai penanda yang mempunyai arti penting untuk menggantikan sesuatu yang lain. Hal ini berkaitan dengan definisinya tentang semiotika sebagai “teori kedustaan”. Tanda menurut Saussure terdiri atas dua unsur yaitu penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda adalah aspek material dari bahasa: apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Sedangkan penanda adalah aspek mental dari bahasa: gambaran mental, pikiran atau konsep. Secara bersamaan keduanya akan membuat suatu tanda Saussure menjelaskan bahwa terdapat enam prinsip dasar dalam semiotika. Pertama, prinsip struktural. Tanda dilihat sebagai sebuah kesatuan antara sesuatu ang bersifat material dan konseptual. Yang menjadi fokus penelitian adalah relasi antara unsur-unsur tersebut, karena dari relasi tersebut akan menghasilkan makna. Kedua, prinsip kesatuan. Sebuah tanda merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara bidang penanda yang bersifat konkrit atau material dengan bidang petanda. Ketiga, prinsip konvensional. Realsi antara penanda dan petanda sangat tergantung pada apa yang disebut konvensi, yaitu kesepakatan sosial tentang bahasa (tanda dan makna) di antara komunitas bahasa. Keempat, prinsip sinkronik. Tanda dipandang sebagai sebuah sistem yang tetap di dalam konteks waktu yang dianggap konstan, stabil dan tidak berubah. Kelima, prinsip representasi. Tanda merepresentasikan suatu realitas yang menjadi rujukan atau referensinya. Keenam, prinsip kontinuitas. Relasi antara sistem tanda dan penggunanya secara sosial dipandang sebagaia sebuah continuum, mengacu pada struktur yang tidak pernah berubah.
Menurut Saussure tanda memiliki tiga wajah yaitu tanda itu sendiri (sign), aspek material (suara, huruf, bentuk, gambar, gerak) dari tanda yang berfungsi menandakan atau yang dihasilkan oleh aspek material (signifier), dan aspek mental atau konseptual yang dibentuk oleh aspek materil (signified). Hal terpenting yang dilakukan dalam melakukan analisis tentang tanda adalah mengetahui mana aspek material dan aspek mental dari sebuah tanda; karena tanda itu sendiri merupakan kesatuan antara signifier dan signified. Hubungan antara signifier dan signified disebut sebagai signification. Dijelaskan lebih lanjut oleh Sunardi bahwa dalam analisis semiotika yang dicari adalah berbagai hubungan yang menyatukan antara signifieds (jamak) dan signifiers dari berbagai unsur obyek tersebut. Hubungan antara signifieds dan signifiers kemudian akan menghasilkan makna. Dalam sistem tanda, Saussure menjelaskan bahwa suatu tanda akan dapat menghasilkan makna karena adanya prinsip perbedaan atau sistem hubungan antara tanda.
Ferdinand de Saussure menjelaskan bahwa terdapat tiga macam hubungan tanda yaitu hubungan simbolik, hubungan paradigmatik dan hubungan sintagmatik. Hubungan simbolik adalah hubungan tanda dengan dirinya sendiri (internal), hubungan paradigmatik adalah adalah hubungan tanda dengan tanda laindari satu sistem atau kelas, dan hubungan sintagmatik adalah hubungan tanda dengan tanda lain dari satu struktur. Kedua jenis hubungan yang terakhir disebut kemudian disebut sebagai hubungan eksternal. Ketiga jenis hubungan tanda ini kemudian dijelaskan oleh Roland Barthes (penganut Saussureian) melalui gagasannya tentang dua tatanan pertandaan.
Tataran pertandaan pertama digambarkan dalam relasi di dalam tanda; antara signifier dan signified, atau yang Saussure sebut sebagai hubungan simbolik, dan antara tanda dengan referennya dalam realitas eksternal; Barthes menyebutnya sebagai denotasi. Pada tataran pertandaan yang kedua, tanda kemudian berinteraksi dengan perasaan atau emosi penggunanya serta nilai-nilai kultural dimana tanda dan penggunanya berada. Barthes menyebutnya sebagai konotasi. Karena dipengaruhi oleh nilai kultural maka konotasi sebuah tanda akan berbeda dalam berbagai masyarakat. Hal ini membuat tanda bersifat arbiter dan spesifik pada kultur tertentu. Konotasi bekerja dalam level subyektif dan oleh sebab itu seringkali nilai konotatif dibaca sebagai fakta denotatif. Tujuan analisis semiotika adalah memberi metode analisis dan kerangka pikir untuk menjaga kita dari kesalahan membaca seperti itu. Cara kedua bekerjanya tanda dalam tatanan pertandaan kedua adalah melalui mitos.
Mitos berasal dari bahasa Yunani mutos yang berarti cerita; cerita yang tidak benar, cerita buatan yang tidak memiliki kebenaran historis. Namun cerita semacam itu tetap dibutuhkan agar manusia dapat memhami lingkungan dan dirinya. Roalnd Barthes menyebut mitos sebagai cara berbicara yang baru (a new type of speech). Dalam sistem pertandaan yang diberikan oleh Barthes, mitos merupakan salah satu sistem semiotik tingkat dua.
Teori mitos dikembangkan oleh Roland Barthes untuk melakukan kritik atas ideologi budaya massa (budaya media). Sebagai sistrem semiotik, mitos dapat diuraikan ke dalam tiga unsur yaitu; signifier, signified dan sign. Barthes menggunakan istilah berbeda untuk tiga unsur tersebut yaitu form, concept dan signification. Mitos mengambil sistem semiotik tingkat pertama sebagai landasannya sehingga mitos merupakan sistem semiotik yang terdiri dari sistem linguistik dan sistem semiotik.

1 comment:

  1. Wiw..pas banget nih bahasan ama skripsi gua..

    klo boleh tau dapet artikel dari mana bos?

    ReplyDelete

Note: Only a member of this blog may post a comment.