12 jam sebelumnya, cafe LIP yogyakarta ... sesaat setelah menutup instant messenger
orang orang berkulit cokelat disekitarku berbicara dalam bahasa ibu Napoleon, fasih bahkan lebih fasih daripada tetes hujan yang masih terus menggauli si tua penarik becak di seberang jalan sana. masing masing dari mereka nampak sangat resah, mungkin karena sebentar lagi akan digauli hujan yang semakin berpora dalam pesta malam nanti ... malam jumat.
secangkir espresso kembali dibawakan gadis manis berjilbab cokelat. belum cukup... mungkin secangkir lagi. seorang sahabat dari seberang benua pernah bertanya, kenapa kamu benci hujan. nein, meine liebe ... aku tidak benci hujan, aku hanya benci pada atmosfir melankolis yang dibawa dalam tiap tetesnya. dan aku butuh sesuatu yang cukup keras untuk mendepak semua itu ... ach so katanya, mencoba menahan tawa dan mengerti dalam kepura puraan. dulu sekali. masih di pojok, terasing dalam kerumunan makluk berbahasa asing dari kampung sebelah... sepertinya hujan akan lama, celetuk seorang gadis. yang kemudian menggeser kursi dengan anggun dan meletakan beberapa buku di meja lalu duduk dan menikmati segelas teh panas. ya, sepertinya begitu ... mungkin sampai nanti pagi. rona resah di wajahnya, tergambar jelas walau penerangan yang didisain di ruang itu sedikit menyiksa. maksudku, designer interior yang punya ide masang lampu remang di cafe pastilah disainer paling goblok sedunia... siapa yang mau bayar mahal untuk menjadi rabun?? si gadis lalu membuka buku, menutup wajah nya dari padangan dengan sampul buku yang membuat aku sedikit menaikan alis mata... Anna ... gumanku. seleranya klasik juga, dalam hati saya berbisik. Anna, nama yang kemudian - dengan sangat menyesal, atas bantuan hujan - melambungkan khayal jauh ke pulau jutaan bunga. Anna, gadis kecil delapan tahun yang punya kuncir kuda simetris ... Anna, gadis manis yang terpaksa menikah di usia belasan dengan seorang tengkulak. Anna isteri sang juragan yang dalam lemari kayunya tersimpan rapi setangkai gerberra dan sebuah kartu bertuliskan 'milikmu selamanya'... Anna ibu yang meninggal saat bertarung dengan maut di ruang persalinan... perempuan. bayinya perempuan, pastinya dia akan jadi gadis cantik ketika dewasa nanti. sayang, dia pergi bersama Anna ...
efek rinai hujan memang gila, padahal sudah hampir satu dekade. rasanya seperti baru saja. tak sadar tubuh berguncang. ah pasti karena espresso. mencoba menjadi dokter sesaat. ah ... dasar perempuan bodoh, tiba tiba saja gadis manis yang seari tadi membisu dan berbicara hanya dengan bukunya menyeletuk. siapa? oh ini, Anna... seraya menunjukan buku yang dipegangnya. kenapa dengan Anna, ibarat memancing di air pasang. mencoba memanfaatkan momentum untuk memecahkan jutaan ombak dengan hebatnya. dengar, katanya dan seolah ibu guru bahasa inggrisku yang cantik, dia membacakan hal yang olehnya dikatakan 'bodoh'
"'Do this for me: never say such words to me, and let us be good friends.' These were her words, but her eyes said something different". Anna says this to Vronsky after he yet again tells her of his love for her. She is still trying to struggle against her feelings for him, but he can tell when she makes this statement that she is indeed in love with him.
ah love moves in a mysterious ways gumanku. MYMP?? sontak si gadis menebak. MYMP kan, kamu tau lagu itu yah? sayangnya enggak, yang saya ingin tahu hanya kapan hujan ini berhenti dan kenapa Anna bunuh diri. mungkin Leo sengaja membunuhnya, biar para perempuan yang dianggap bodoh harus berakhir tragis, dilindas kereta uap. kamu tahu berapa berat satu gerbong kereta api dan berapa pasang roda yang terpasang di tiap gerbongnya. hahaha hanya satu yang aku tahu, jarak antara rel ... seperti kata Cuelho?? tanyaku. ya seperti kata Cuelho...
Anna tokoh bikinan Leo Tolstoy, seorang perempuan yang terjebak dalam kisah cinta yang rumit pada suatu masa dalam dunia aristokrat negeri beruang merah, tempat dimana lahir seorang bernama Alexander Rodchenko. fotogarfer dan seorang pakar montase yang karyanya sering diperdebatkan dalam kajian media massa. Anna juga adalah nama gadis yang selama hujan yang tak kunjung reda masih terus menulis marka di angkasa, yang menemaniku dalam layar 13 inci. 2 anna yang hanya ada dalam reaksi kristal cair dan oposisi biner, dalam kecanggihan teknologi yang tidak terbayangkan oleh mereka yang menyaksikan seorang perempuan harus tercabik cabik berserakan di antara roda kereta uap ...
pukul tiga pagi, mengaduk ID11 dengan senduk kopi ...
baru saya sadari, rak di kamar belakang berisi bahan bahan yang bisa membuat lidahmu kaku... restainer, potasium, natrium, selenium, dan beberapa gram merica, kopi bubuk dari tahun 2005 dan larutan acid. satu senduk teh tak akan apa apa ... mati rasa, lidah kelu, mual, mata perih dan paling parah sesak nafas. merangkak dan disana, isak tangis diseberang disini berharap bisa menjamah jemari. Anna ... kamu hantu, dan kamu nyata sekali. setan alas, siapa yang punya ide mencampur kopi dengan restainer? dasar laki laki bodoh !! sekarang kau penuhi kakus dengan isi perutmu, bahkan keluarnya lewat mulutmu. dasar laki laki bodoh! dan diluar sana hujan belum juga reda ... Anna, kamu hantu ... tapi kenapa tamparanmu terasa nyata? berikanlah pipimu yang satu lagi, kata seorang berjubah ungu - seorang raja selalu ungu. Anna, kamu harus dan mustilah hantu - tapi kenapa air matamu terasa hangat, isak tangismu menyayat miris hatiku...
Aku benci hujan untuk alasan sentimentil, atmosfir melankolis di tiap tetesnya ... dan hujan berhenti di hari Jumat. untuk Anna ...
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.