August 12, 2008

Media Massa: agen kontrol sosial dan pembentukan opini publik

“ It may not be succesful much of the time in telling people what to think but, it stunningly succesful in telling its readers what to think about” - Barnard Cohen -
sebuah kritik terhadap teori 'uses and gratification'

Berbicara mengenai kontrol membuat saya teringat akan kajian kajian Foucault saat masih memasuki semester satu kampus tercinta. Dan ketika itu saya tertarik pada sebuah image yang ada dalam bukunya, sebuah menara pengawas yang dinamakan panopticon. Peran panopticon adalah sebagai tower yang dari sana para sipir bisa melihat semua sel-sel. Ia merupakan sebuah perlengkapan arsitektural yang memungkinkan aparatus mengumpulkan informasi dan memberlakukan kekuasaan dalam penjara (Penjara merupakan paradigma Foucault atas apa yang terjadi dalam masyarakat keseluruhan. Penjara adalah suatu “disipliner aparatus yang lengkap” dimana seluruh sistem yang lain diperagakan dengan satu tingkat atau tingkat yang lain. Penjara adalah sistem karseral yang meracang tingkatan bagi masyarakat keseluruhan agar menjadi sebuah sistem semacam itu. Kekuatan untuk menghukum berjalan pada setiap kondisi di masyarakat (Lihat: George Ritzer, Teori Sosial Posmodern, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2003). Panopticon adalah sumber kekuasaan yang sangat hebat bagi aparatus penjara karena memungkinkan mereka melakukan pengawasan total. Di antara lain ia benar-benar mengeliminir dengan pasti dan efisien kemungkinan konfrontasi fisik antara aparatus dan sistem hukum. Lebih penting lagi kekuasaanya bertambah, karena tahanan mengontrol diri mereka sendiri, mereka berhenti melakukan berbagai kegiatan barangkali karena mereka takut dilihat oleh aparatus yang kemungkinan berada dalam panopticon. Dari pemahaman Foucault tentang panopticon tersebut jelas terlihat keterkaitan antara ilmu pengetahuan, teknologi dan kekuasaan. Kekuasaan menurut Foulcault bukanlah soal intensi individu, rezim ataupun kelas sosial tertentu, bukan pula soal relasi produksi dan eksploitasi, melainkan jaringan relasi yang anonim dan terbuka. Foucault nyaris tidak mencanangkan sebuah teori ontologis tentang kekuasaan, sebab ia lebih berfokus pada partikularitas relasi-relasi (penjara, rumah sakit, rumah sakit jiwa, sekolah dan sebagainya (http://filsafatkita.f2g.net/mich1.htm). Kekuasaan adalah soal praktik-praktik konkrit yang lantas menciptakan realitas dan pola-pola perilaku, memproduksi wilayah objek-objek pengetahuan dan ritual-ritual kebenaran yang khas. Praktik-praktik itu menciptakan norma-norma yang lalu direproduksi dan dilegitimasi melalui para guru, pekerja sosial, dokter, hakim, polisi dan administrator, misalnya. Kekuasaan mewujudkan diri dalam pengetahuan, tetapi pengetahuan pun lantas melahirkan kekuasaan. Jika dikaitkan dengan media (di Indonesia) maka kekuasaan media tidak hanya terletak pada penyajian realita tetapi juga sebagai alat kontrol sosial. Hal ini membuat posisi media semakin dominan. Kekuasaan media menjadi semakin kuat ketika pengetahuan terhadap dunia kehidupan sepenuhnya diperoleh khalayak dari media. Dunia Kehidupan atau 'lebenswelt' yang diperkenalkan oleh Husserl dipahami sebagai “dunia yang dihayati” menunjuk pada pemahaman akan rasionalitas tertentu dimana ilmu pengetahuan menyatakan kebenaran terakhir tentang dunia. Lebenswelt adalah keseluruhan makna-makna asali yang mendahului setiap macam rasionalisasi tentang dunia. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana media membentuk dunia-kehidupan tersebut. Dapat dijelaskan bahwa, jika kekuasaan (dalam sebuah sistem) terletak pada negara, maka dunia kehidupan yang diciptakan adalah representasi dari dunia kehidupan negara. Media hanyalah merupakan corong negara atau kelompok (baca: penguasa) untuk melanggengkan kekuasaan penguasa dan kelompok penguasa atau mempertahankan status quo. Pada negara dengan sistem totaliter, media massa dimiliki oleh negara dan tidak ada media lain, jika ada hanyalah corong dari parpol penguasa. Dalam kasus ini media menjadi sarana propaganda politik yang sangat efektif dan sebagai pembentuk dunia kehidupan yang dominan. Hukum yang diciptakan oleh negara hanya sebagai sebuah proteksi terhadap status quo. Jika kekuasaan terletak pada pasar, maka dunia kehidupan yang diciptakan adalah dunia kehidupan kelompok kapital. Artinya media dalam hal ini menjadi alat yang ampuh dalam pencapaian akumulasi modal dan pengaman kelas. Hukum (norma) yang datang dari masyarakat (dunia kehidupan) akan membentuk sistem (negara dan pasar) yang kemudian membentuk dunia kehidupan itu sendiri. Konsep ini tidak lepas dari ideologi dan budaya media serta konsep hegemoni media yang ditawarkan oleh Gramsci. Menurut Althusser ideologi adalah sebuah representasi dari citra, mitos, ide dan konsep. Ideologi dalam hal ini menyakinkan kelompok yang tertekan bahwa semuanya berjalan natural. Ideologi menyiratkan adanya penopengan, penyimpangan, atau penyembunyian realitas tertentu. Gramsci menjelaskan bahwa hegemoni digunakan dengan mengacu pada sebuah kondisi dimana kelas dominan tidak hanya mengatur namun juga mengarahkan masyarakat melalui kepemimpinan moral dan intelektual. Dalam hegemoni, kpentingan sebagian masyarakat yang berkuasa “diuniversalisasikan” sebagai kepentingan masyarakat secara keseluruhan, dengan situasi yang terasa alamiah, normal, dan tanpa pertentangan serius (Lihat John Storey, Teori Budaya dan Budaya Pop. Yogyakarta: Qalam 2003). Media dalam penyajian realitas mengalami berbagai proses, sehingga media memiliki potensi untuk membentuk pemahaman baru akan realitas (baca: pengetahuan) yang pada akhirnya menciptakan kesadaran palsu pada diri khalayaknya. Sehingga rasionalitas akan dunia kehidupan menjadi benar apabila media menyajikan demikian. Dalam kajian komunikasi massa, hal ini dapat dijelaskan melalui model yang ditawarkan oleh Maxwell E. Comb dan Donald L. Shaw yang dinamai 'agenda setting'. Model agenda setting tampaknya memperbaharui kembali penelitian efek yang diabaikan oleh model Uses and Gratification. Model ini memusatkan perhatian pada efek media massa terhadap pengetahuan atau lebih kepada efek kognitif. Media massa memang tidak dapat mempengaruhi orang untuk merubah sikap, tetapi media massa cukup berpengaruh terhadap apa yang dipikirkan orang. Ini berarti media massa mempengaruhi persepsi khalayak tentang apa yang dianggap penting. Media massa memilih informasi yang dikehendaki dan berdasarkan informasi yang diterima, media massa mengemasnya dalam berbagai bentuk penyajian secara terus-menerus sehingga opini khalayak yang terbentuk sama dengan apa yang ingin diarahkan oleh media massa. Atau dengan kata lain media massa memiliki kekuatan dalam membentuk opini khalayak, dan menjadi sumber pengetahuan bagi pemaknaan terhadap dunia kehidupan/lebenswelt. Proses ini dilakukan lewat pemberitaan media yang secara simultan mengangkat topik-topik tertentu yang ada, penekanan pada topik tertentu, posisinya pada headline atau tema utama, panjang pendeknya pemberitaan serta liputan-liputan yang terkait. Hal ini sekaligus mengkritik teori uses and gratification yang mengabaikan fakta bahwa media massa memiliki kekuatan/kekuasaan untuk memanipulasi audiens/khalayak dimana media memiliki tiga faktor yang berperan penting dalam pembatasan persepsi khalayak yang selektif yang dipaparkan oleh Elisabeth Noelle-Neumann melalui spiral kebisuan-nya (die sweigespiralle). Dengan kata lain media massa dapat mengontrol kognisi khalayak dalam proses seleksi media sebagaimana dijabarkan dalam teori uses and gratification.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.