August 12, 2008

Ketika Theresa & Tukang Foto Keliling Bercinta di Ruang Gelap

"Sabtu sore kemarin seharusnya sudah terpilih ketua FJK yang baru. Sabtu sore kemarin harusnya sudah ada visi dan misi dari kandidat yang dijabarkan … sabtu sore kemarin harusnya daftar rencana kerja sudah bisa dijabarkan oleh kandidat.. sabtu sore kemarin harusnya saya ketemu orang gila ...
sabtu sore kemarin harusnya saya bercinta dengan teresa di ruang gelap ….."
Catatan Kaki Regenerasi FJK oleh Tukang Foto Keliling yang gagal jadi 'fotografer'

Belakangan ini ‘saya’ sering bertanya tanya pada diri sendiri: mengapa ‘saya’ tertarik dan ikut memperjuangkan FJK. Sah-sah saja anda mencurigai ‘saya’, itu hak anda. Namun bagi saya sendiri, ‘saya’ berhutang budi pada FJK yang telah menanamkan dasar-dasar yang kuat dalam pembentukan diri menjadi tukang foto keliling bagi saya. Lebih daripada itu, FJK telah mengenalkan saya dengan sesuatu yang saya tidak dapatkan di tempat lain: KAMAR GELAP. Yah kamar gelap yang pengap dan berdebu itu. Bahkan jika tidak hati-hati, bisa saja tersandung, bersentuhan dan menyinggung yang lain bahkan diusir dari sana, dipaksa keluar, diharuskan keluar, diharuskan masuk, diharuskan terus membuka mata dan membiasakan diri dengan aroma cairan kimia, belum lagi jemari menguning dan gatal-gatal. Sebuah tempat yang sangat dilematis, bahkan paling ambigu. Di satu sisi ia harus terus gelap, namun pada sisi lainnya setitik sinar akan menghasilkan ‘ribuan kata’ tetap dibutuhkannya. Kamar tempat kami berceritera dengan bahasa kami, bercumbu dengan developer dan fixer murahan, dan beronani demi cita-cita kami; jadi fotografer, yah fotografer jurnalistik. Bukan hanya jadi tukang foto keliling seperti ‘saya’ sekarang ini.


Berangkat dari kehilangan ‘makna kamar gelap’ yang tercipta, beberapa rekan kemudian mencoba menjadi sinar terang di akhir tahun duaribusatu. Dengan kerja keras dan dedikasi terhadap ruang gelap yang tiada habisnya, mereka memberikan nyawa baru bagi apa yang disebut FJK, fotografi jurnalistik klab. Kisah perjalanan yang naik turun ibarat sinetron remaja dan beberapa kali mengadakan kegiatan yang bermodal ‘niat’ hingga ‘nekat’ pun mewarnai sejarah organisasi yang katanya lahir di hari ‘Coklat dan Mawar Merah’. Dengan berbagai prestasi yang dicatat baik perorangan maupun organisasi, lengkap dengan catatan merah yang didapat juga menjadi pemanis sejarah perjalanan hidup FJK, pun hingga saat ini, saat pergantian kepengurusannya yang kemudian ditunda hingga Jumat nanti.

Kembali pada persoalan klasik saat pertama kali mendengar kata FJK, fotografi jurnalistik klab: mendefinisikan nama.
What is a name, a diamond still a diamond even though its on mud. Namun lain persoalannya dengan sebuah organisasi, nama mencirikan organisasi. Ciri yang dapat dilacak melalui implementasi program kerja yang direncanakan. Nama menjadi image, citra bagi organisasi, demikian halnya dengan FJK. Berfokus pada term jurnalistik tidak serta merta menjelaskan karya-karya anggotanya. Yang pada kenyataannya masih sedikit sekali yang mengerti tentang hal yang paling simpel: apa itu jurnalistik? Sebelum ke soal apa itu foto jurnalistik.
Pemaknaan ulang pada makna ‘jatidiri’ FJK saya pandang sebagai hal yang sangat krusial terutama bagi ketiga kandidat ketua FJK. Dengan memahami jatidiri FJK, dengan sendirinya dapat menjadi tolak ukur dan acuan dalam merencanakan rencana kerja dengan visi dan misi yang jelas. Kembali merumuskan apa yang disebut jurnalistik dalam FJK, dapat membantu untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan yang mengarah pada sisi tersebut.
Kepelatihan yang ditawarkan oleh FJK dalam pengamatan saya memang masih pincang. Dan hal ini berlaku sejak awal ‘rebirth’ nya, yang parahnya menjadi semacam warisan yang ingin diabadikan selamanya. Di satu sisi, kepelatihan teknis mendapat porsi yang cukup tinggi dengan beraneka pengenalan teknik dan hunting yang digelar pengurus maupun personal hunt yang tidak kalah intensnya. Dari titik ini, FJK mengarahkan tentang bagaimana membuat foto yang bagus secara teknis. Namun sisi minusnya adalah kurangnya bahkan tidak adanya pelatihan dalam hal jurnalistik. Foto jurnalistik adalah communication photograph, bukan sekedar men-documentio-kan sebuah peristiwa. Ini yang saya tangkap pada saat karya-karya lifestyle dibuang dari meja kurator. Membuat foto bagus semua bisa, tapi apakah FJK bisa membuat foto yang memiliki kedalaman makna cerita apalagi bernilai jurnalistik? Rasanya sedikit sekali yang bisa, bahkan sama sulitnya dengan menyusun caption foto, atau menjabarkan tema foto yang masih ideal kedalam bentuk gambar. Satu hal yang kemudian menunda perhelatan gelar karya tahun ini. Bukankah hal yang bijak untuk menunda atau membatalkan gelar karya yang asal-asalan dan tidak jelas arahnya. Daripada harus menerima umpatan dan makian yang memang memiliki alasan kuat untuk diutarakan, wajar dimaki-maki dan diumpat-umpat sebab memang apa yang dipamerkan ‘memaki-maki’ yang menonton bahkan mengumpat diri sendiri dan yang ber-pamer. Kalo mau pamer yah pamer lah yang benar-benar pamour, jangan asal pamer-pameran apalagi pura-pura memamerkan pameran. Lho itu kan ada di daftar kerja, kami harus bikin gelar karya tiap tahun. Waduh … apa bedanya dengan palsunya ulang tahun? Sadar telah berubah namun tidak berubah juga.
Gelar karya, yang entah kenapa dipahami sebagai sebuah keharusan pada setiap kepengurusan terkadang miskin makna. Memang diakui rupa pemilu sedikit lebih membanggakan daripada gelar-gelar karya yang lain yang tekesan hanya gelar-gelaran yang kapan saja bisa kelar dari ingatan. Walau diakui bahwa rupa pemilu diadakan atas kecermatan membaca iklim yang ada, konteks sosial saat itu mendukung rupa pemilu menjadi sebuah gelaran yang hanya mampu ‘merekam’ hajatan lima tahunan, sebagaimana dikatakan oleh kuratornya Eko Budiantoro.
Gelar-gelaran yang mewarnai kehadiran kepengurusan baru dengan segenap tema yang coba diangkat memang menjadi ciri dari FJK, bahkan boleh dikatakan ‘obsesi kepengurusan’ yang kemudian menjadi ajang gagah-gagahan antara mantan pengurus. Soal ini saya baca sebagai sebuah upaya FJK untuk menjaga ‘ke-eksistensi-annya’ di tengah maraknya gelar-gelaran yang sedang subur berkembang. Sungguh hal yang naif jika mengatakan eksistensi ditunjukan dengan karya, tanpa menegaskan karya apa yang ditunjukan. Eksistensi bukan soal ‘ini saya, lihatlah’ tapi soal ‘apa dan siapa saya’.
Apa dan siapa yang eksist, apa dan siapa yang kemudian melihat saya dan mengakui ke-eksist-an saya. Lebih jauh lagi siapa yang mau eksist, untuk apa dan bagaimana? Sekedar pertanyaan buat pengurus FJK: apa yang kalian urus, mengapa dan untuk siapa? Sehingga kepengurusan ini tidak kemudian menjadi gagal mengakomodasi minat dan bakat motret yang merupakan salah satu alasan di-hidupkan-nya kembali FJK. Tentu saja ini merupakan tantangan bagi kepengurusan yang baru, sanggupkah anda menjembatani hasrat teman-teman dalam fotografi dan memperjuangkan kesolid-an kepengurusan nantinya, jatuh bangun dan tersandung bahkan sampai ke jalan buntu? Inilah saatnya teman-teman belajar berorganisasi, ketemu berbagai kepala dalam satu ruangan dan berupaya untuk menyatukan apa yang ada dalam kepala-kepala tadi. Tantangan yang masih belum ditemui jawaban dari masa ke masa kepengurusan FJK. Lebih kacau lagi, kepengurusan yang secara de facto dan de jure yang telah terbentuk lewat one man one vote akhirnya ditinggalkan yang lain, dan bahkan ditinggalkan kabinetnya. Sanggupkah anda menjaga hal ini tidak terjadi? Hal yang kemudian menjadi sebuah refleksi bagi diri kita yang suka foto, mau jadi tukang foto keliling, fotografer, atau sekedar berorganisasi?
Lelah dengan sejumlah persoalan internal FJK muncul masalah baru, ternyata kamar gelap ini berada dalam kamar gelap yang lebih luas, kamar gelap milik ‘Teresa’. Kamar gelap yang bahkan lebih gelap, lebih pelit cahaya, lebih kompleks dari sekedar nyampur developer dan ganti bolam enlarger, memiliki belasan bahkan ratusan tingkat gradasi, lebih rapat dibanding tutup bungkus kertas foto dan masih banyak lagi komplikasinya. Kamar gelap milik si Teresa ini rupanya memiliki lampu berwarna-warni, tidak hanya merah. Teresa, gadis yang belum lama ini menginjakan kaki pada angka enambelas perjalanan hidupnya, semakin menunjukan keanggunan dirinya. Tidak seperti gadis sebaya pada umumnya, Teresa memiliki perbedaan dari mereka dan beberapa saudaranya yang lain. Akreditas serta pesonanya kemudian menjadikan banyak remaja mengantri demi mendapatkan nomornya. Atau bahkan untuk sekedar makan malam denganya atau lebih dari itu, jadi kekasihnya dan berharap bisa bercinta di ruang gelap dengannya.
Sadar akan keanggunanya, Teresa kemudian melakukan seleksi. Mana yang pantas baginya, tukang foto keliling, penyiar radio dan televisi, atlit futsal dan basket, biro iklan, public relations officer, wartawan infotainment ataukah pengurus lsm. Mana salah satu dari mereka yang kemudian bisa mencuri perhatian Teresa, yang entah sama dengan gadis-gadis abege lainnya, suka dipuji dan disanjung baik di rumah sendiri atau hingga melampau batas regional. Hal ini wajar saja, mengingat Teresa adalah seorang gadis yang tidak ingin kecewa dengan pilihannya, seolah merasakan pengorbannya demi pilihannya sangat besar hingga tak ingin nantinya dikatakan salah pilih oleh ayahnya, Pak Slamet yang pusing mengurusi tidak hanya Teresa, namun masih banyak saudara lainnya yang bolak balik bikin ulah….. ugh

Photojurnalis adalah orang gila …

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.