
Pemaknaan ini saya buat supaya 'seolah-olah' ilmiah saja ... jadi bukanlah sebuah 'sang real' yang kesahihannya tidak bisa diperdebatkan bahkan dibantah... who am I anyway?
Realisme relatif - makna denotatif sebuah foto adalah analogon:
Apa yang menjadi realisme relatif dalam foto ini?? 'foto wanita yang sedang menunjuk pada sebuah titik di sebuah bentuk/gambar dan seorang pria yang memperhatikannya (wanita tadi) dengan background sebuah bus 'dua lantai' dengan tulisan 'Lost? You Are Here' dan sebuah kendaraan lain didepanya yang berukuran lebih kecil darinya dan keduanya berada di depan sebuah gedung yang terletak di seberang jalan dari sisi si wanita dan pria serta tiang dengan gambar garis2 tadi yang secara keseluruhan mengatakan bahwa wanita dalm foto ini tersesat di sebuah sudut kota'
Pertama-tama saya mencoba menemukan satuan-satuan dalam foto tersebut (tahap studium).
- seorang wanita mengenakan jaket dan di bahu kirinya tergantung tas, memandang pada bagian kana atas frame, tangan kanan menunjuk pada;
- sebuah tiang, dengan gambar bergaris dengan beberapa tulisan yang susah untuk dibaca oleh saya karena ukurannya yang kecil yang saya asumsikan sebagai sebuah peta; peta dari jalan dan rute, tepat di atasnya terdapat beberapa logo dan tulisan yang melekat pada sebuah tiang bundar. Dan di sisi lainnya terdapat juga sebuah benda kotak berwarna hitam.
- seorang pria yang berdiri di sebelah kiri frame dan memandang ke arah wanita tadi
- sebuah tulisan Lost? You are here pada background yang tertera pada sebuah bus dua lantai, yang entah sedang berhenti atau bergerak lambat, dan sebuah kendaran yang lebih kecil ukurannya. Pada bisa dengan tulisan 'Lost? You are here', saya menemukan image penumpang pada lantai atas di beberapa deret dari bagian ujung bis serta di bagian paling kanan. di sebelah kanan tulisan Lost? You are here, terdapat sebuah gambar kotak berwarna putih yang di tengahnya terdapat titik hitam serta di sebelah kananya terdapat beberapa gambar (logo).
- jalanan yang lenggang (apakah ini jalur satu arah atau dua arah saya tidak pasti) namun yang cukup lebar, perkiraan saya jalan ini merupakan jalan yang terdiri lebih dari dua jalur, lihat oleh dimensi yang diciptakan dari 2 orang tadi dengan kendaraan di seberang serta marka jalan yang membagi badan jalan (aspal) tersebut.
disini 'urban' hanya dipahami sebagai tempat, setting, lokasi... urban hanya dipahami dalam pembacaan bahwa ia adalah tempat dimana transportasi menjadi hal yang diatur dengan baik, dengan jalur jalan yang memungkinkan kemacetan menjadi minim, dengan informasi tentang transportasi yang tersedia dan bisa diakses dengan mudah oleh siapa saja... di sini urban hanya menjadi tempat dimana ada gedung bertingkat dan bis bertingkat yang menunjukan bahwa teknologi dan transportasi telah maju dan berkemabng baik bahkan ditangani dengan baik sehingga tidak tampak kemacetan ..
apakah saya akan hanya berhenti di sini, tidak !! the author still alive, namun sekarat. saya tidak akan berhenti disana. pembacaan saya tidak hanya pada level 'meraba-raba' kode-kode yang kelihatan, kasat mata (studium), namun lebih jauh.
Saya berhenti pada sebuah titik, yang mana 'impressed me' ... titik dimana saya menemukan kenyataan bahwa dua manusia yang ada dalam foto ini adalah pria dan wanita dewasa dan lebih lagi pada soal jarak antara keduanya. Dengan hanya memberikan juxtaposition yang terdapat di foto tersebut dan kemudian berkonklusi bahwa inilah 'mimpi' inilah hal yang sureal, tumpang tindih juxtaposition yang saling berhubungan ini hanya bisa terdapat dalam mimpi. Sayangnya bagi saya ini belum surreal, coba tengok lagi konsep Henri Cartier -Brenson soal decisive moment, moment yang dibekukan oleh fotografernya. (sekali lagi disini saya masih menahan diri untuk berkonklusi..)
Kembali pada titik 'pucti' tadi, yang 'mengesankan saya'- bagi saya inilah URBAN yang tidak hanya sebagai setting dalam foto ini. inilah sifat kota, ciri kota. ciri yang dibangun dengan sikap individualistik, pemujaan terhadap waktu (dalam konsep kapitalis waktu adalah uang, waktu adalah kapital) sehingga menolong atau membantu seseorang adalah kegiatan yang merugikan. sikap indivisualistik yang dalam ini digambarkan dengan jarak antara keduanya, gesture si pria yang hanya memperhatikan si wanita dengan tatapan datar, tatapan yang dibuat saat memperhatikan tingkah laku pada seorang yang tidak dikenal. kemudian anda mungkin akan berargumen.. ah bisa saja mereka sudah saling kenal, atau bisa jadi mereka sudah 'intim'... nope! sayang sekali saya tidak akan setuju dengan argumen ini, jika benar keduanya telah saling kenal; memiliki hubungan yang intim, tentu saja gesture si pria tidak 'datar' demikian. tentu ia akan ikut 'merasakan' apa yang dialami oleh si wanita, menyelidiki apa yang terjadi. but hal ini tidak ditunjukan dalam foto tersebut, she´s just a passer by, he just a man who waited for a transportation. Untuk ini kembali kita berterima kasih pada 'si perusak suasana', Sigmund Freud. Psikoanalisisnya memang kemudian menjadi telaah yang sangat membantu dalam berbagai cabang ilmu, sebut saja komunikasi. Verbal communication juga mempelajari gesture, mimik bahkan sampai ke hal kecil seperti melirik atau berkeringat yang menjadi 'message' yang dikirimkan bagi receivernya (ingat kembali konsep ego, super-ego dan id yang ditawarkan Freud). Hal lainnya yang dopelajari dalam komunikasi verbal adalah soal jarak antara satu manusia dengan manusia yang lain. Kita cenderung menciptakan 'ruang antara' kita dengan orang lain yang berada di sekitar kita, atau bahkan yang sedang bercakap-cakap dengan kita. Seberapa lebar ruang antara yang diciptakan tidak hanya menunjukan posisi kita tapi lebih pada upaya 'alam bawah sadar' untuk memproteksi diri, membuat kita nyaman. Studi gerak dan mimik ini memang sangat kompleks dan rumit, karena akan melibatkan tidak hanya satu disiplin ilmu saja (psikologi) namun bisa membutuhkan kajian komunikasi, biology, antropology hingga semiotika.
Jika ingin (pura-pura) lebih kritis lagi dalam memaknai urban yang sebagai keadaan, subyek utama dari foto ini saya akan bergerak ke pembacaan lebih lanjut; dengan menggunakan teori MITOS...
Mitos adalah cara berbicara yang baru. mitos adalah kritik ideologi yang dikembangkan Roland Barthes melalui (kritik) budaya yang berkembang, seperti fotografi. Mitos adalah sistem semiotik tingkat II yang dijabarkan dalam Form, Concept dan Signification. kembali ke foto 'lost' tadi... apa yang menjadi mitos dalam foto tersebut? kehidupan perkotaan yang individualistik, yang selalu mengutamakan kepentingan sendiri, sehingga jika kau mendapat masalah kau harus menyelesaikannya sendiri, tidak ada orang lain yang akan membantumu. you are on your own (catatan: sampai titik ini saya membaca foto tadi BUKAN lagi sebagai foto wanita yang tersesat di sebuah wilayah urban, ia hanya menjadi landasan dari mitos, semiotika tingkat II). patut dicatat lagi, konsep urban adalah konsep kapitalistik yang ditunjukan dengan ciri-ciri tadi. Menurut saya foto 'lost' tidak berbicara mengenai keadaan tesesat di kota, dimana informasi mengambang dimana saja dan akses agar tidak tersesat bisa dijangkau oleh semua orang. Bagi saya foto ini berbicara tentang produk kapitalistik yang ditujukan dalam budaya masyarakat yang individualistik. Diperparah lagi dengan berkembang suburnya 'feminisme' (yang hanya bisa dilihat di wilayah metropolitan khususnya wilayah Eropa tengah dan Amerika Serikat). Bentuk praktis dari paham feminimisme adalah penolakan terhadap dominasi kaum pria (marxis). Meminta tolong pada kaum pria adalah sebuah tindakan 'menyerahkan diri' untuk didominasi oleh pria apalagi ditolong oleh pria, hal ini adalah bentuk penjajahan. Bagi kaum pria yang feminis, menawarkan bantuan adalah soal mendominasi (masih konsep Marxis), tindakan melecehkan dan meremehkan kemampuan wanita. Terma 'ladies first' sangat ditentang oleh kaum feminis. Sekali lagi konsep urban disini bukan hanya sebagai seting saja, tempat dimana tumbuh subur-nya budaya individualistik, tapi justru sebagai aktor utama, urban ditunjuk oleh sikap individualistik tadi. Sikap yang membuat kita menjadi jauh dari manusia yang lain, paham homo socius ditanggalkan, karena saya ada untuk diri saya sendiri bukan untuk orang lain karena saya adalah homo sapiens. Quia nominor ego leo (dalam bahasa Aesop).
Buat apa saya menolong orang lain yang tidak saya kenal kalau hanya menghabiskan waktu saya, waktu adalah uang. dan saya bekerja umtuk itu, saya tidak ingin kehilangan pekerjaan hanya karena terlambat 25 menit untuk menolong orang yang sama sekali baru saya jumpai. Saya tidak mau berkorban untuk itu ... mind your own bussiness, welcome to the 'jungle'...
Inilah kehidupan kota, inilah orang kota. inilah mitos yang ada dalam foto tersebut. Sebagai contoh; Tidak salah jika teman kuliah saya berkata 'lu nanya alamat di jakarta sama aja bunuh diri, belon lagi dikibulin ada juga lu dirampok' ... sebegeitunyakah kehidupan kota Jakarta??
Urban Surealism - urban yang sureal (sebuah gerak menuju konklusi)
Seperti yang disebutkan di awal... surealis adalah gerakan untuk membawa kembali kekuatan pikiran pada fungsi-(semesti)-nya, yakni imajinasi.
Apa yang sureal dari foto tersebut?? Apakah Foto (dicatat pula bahwa saya maksudkan dengan foto adalah analogon, representasi) tersebut adalah foto sureall?? Tidak menurut saya. Disana tidak ada obyek yang dream like, sesuatu yang tidak logis. Sesuatu bahkan keadaan yang 'mempermainkan' imajinasi saya selain hanya sebagai sebuah 'representasi' yang berupa teks yang dapat saya baca melalui strukturalis Barthesian ...
Ambigukah saya?? Tidak.. mari kita periksa lagi dengan decisive moment ala Henri Cartier Brenson. Disini saya akan memakai sudut pandang sang fotografer. ''Saya menunggu moment, saya menunggu waktu yang tepat untuk memencet shutter, menunggu tangan si wanita menunjuk ke gambar, mencondongkan badan dan kebingungan, saat yang sama si pria melirik ke si wanita, dan sebuah tulisan (bis) tadi berada di tengah, diantara pria dan wanita tadi. saat itu terjadi saya ingin membekukannya, inilah moment menentukan saya. Saya sudah merencanakan semua itu di kepala saya, bahkan sehari atau seminggu sebelumnya saya pernah kesini mengevaluasi tempat ini, mengevaluasi setiap bis yang lewat, orang yang lewat, tulisan dan gambar-gambar yang ada di sekitar, bahkan ini jalur yang saya lewati setiap harinya saat berangkat ke studio foto saya yang mulai tergusur oleh era digital, rute pulang saya ketika saya menunggu bis jurusan rute 69 dan bertemu dengan fotografer wanita cantik membuat saya terus mengokang canonet saya ... atau bisa jadi foto ini diambil saat evaluasi berlangsung. kapanpun moment tersebut dibekukan, itu adalah setingan dalam kepala saya. Saya menentukan kapan harus memencet shutter dan bagaimana mengkomposisinya'
Pertanyaan saya: apakah foto tersebut foto urban yang sureal??
Pembacaan saya pada tingkat Studium: urban hanya sebagai setting ...
Pembacaan saya pada tingkat puctum dan dengan menggunakan Mitos: urban menjadi aktor utama ...
Ingatlah bahwa pembacaan saya adalah pembacaan terhadap foto yang sama, dan saya menegaskan bahwa saya menolak pembacaan saya hanya pada tahap studium dan juga puctum. Saya membacanya sebagai sebuah mitos ...
yang kemudian menjawab Pak Alva Sondakh dalam antitesisnya (fotografer.net forum diskusi - konsep dan tema) ´di foto ini saya katakan URBAN telah menjadi tokoh utama, subyek, tidak lagi dimaknai sebagai sebuah seting atau sebuah lokasi terjadinya peristiwa, scene....
Apakah foto ini adalah foto tentang URBAN yang SUREAL??
Saya tidak melihat adanya unsur sureal dari pembacaan saya terhadap foto tersebut. Yang saya temukan adalah foto tersebut berhasil menghadirkan urban sebagai subyek, namun bukan urban yang surealis... Tidak ada yang tak-logis dalam foto tersebut. bahkan dalam pembacaan saya, foto tersebut logis-logis saja. Ini adalah 'keadaan' yang bisa ditemukan di wilayah urban yang dipenuhi dengan cirinya. Inilah ciri kehidupan kota, wajar demikian sebab ia adalah kota. Tidak ada yang tidak logis dari menjadi individual di kota (urban) apalagi metropolis. bahkan wanita tersesatpun hadirnya logis saja, tiap hari ada yang hidup dan mati apalagi tersesat (saya sendiripun hampir menjadi makluk sesat pikir). Wajar saja hal-hal tersebut, tidak menggugah imajinasi saya. Menurut saya foto ini lebih tepat sebagai foto yang decisive, bukan sebuah foto yang surealis apalagi urban surealis, sebuah street photo yang indah dan jika boleh saya katakan foto ini adalah sebuah 'kritik sosial yang paling merdu'... inilah kekuatan baru fotografi yang terus dikembangkan, sebuah kritik dan penggerak !!
Apakah tidak ada yang namanya urban surealis photography??
Jika foto dipahami sebagai sebuah analogon, nampaknya representasi dari urban yang surealis mungkin saja ada, bahkan dalam bentuk foto. Cuma sayang saya belum menemukan contoh foto yang tepat.
ps: sumber dari bebebrapa file catatan kuliah dan beberapa buku pinjaman perpus kampus yang makin mahal dendanya, serta beberapa website yang makin banyak bug dan trojannya (sekali lagi agar pura-pura ilmiah)
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.