Mengacu pada teori divusi inovasi yang diutarakan oleh Roggers, sebuah inovasi dapat diterima bila disebarluaskan atau dikomunikasikan. Esensinya adalah inovasi yang dipahami sebagai ide, praktek, atau obyek dalam kaitannya dengan pembangunan harus disebarluaskan melalui media tentunya sehingga inovasi tersebut dapat diterima atau diadopsi oleh masyarakat. Sebelum berbicara lebih lanjut, tentang peranan media tradisional dalam proses pembangunan di Indonesia, ada beberapa konsep yang perlu dijelaskan terlebih dahulu agar tidak terjadi miskomunikasi yang berakibat misunderstanding atau kesalahan pemahaman.
Pertama konsep “media”. Media dipandang sebagai alat untuk mengirim pesan, informasi dan teks kepada khalayak, lebih lanjut disebut sebagai media komunikasi (Lull 1995). Menurut Schramm, media adalah teknologi pembawa pesan yang dimanfaatkan untuk keperluan instruksional. Briggs berpendapat bahwa media merupakan sarana fisik untuk menyampaikan materi pengajaran (isi pesan) seperti buku, film, video, slide dan komputer. Kata ‘media’ berarti sarana atau perantara, ‘medio’ berarti pertengahan antara dua bagian. Sementara medium berarti bahan yang dipakai sebagai perantara. Media, medio dan medium yang memiliki arti umum yaitu sebagai perantara. Dalam hal ini kemudian media diartikan sebagai alat penghantar. Budaya sebagai hasil tingkah laku manusia atau kreasi manusia, memerlukan bahan materi atau penghantar untuk menyampaikan maksud. Medium budaya itu dapat berupa bahasa, benda, warna, suara, tindakan yang merupakan simbol-simbol budaya.(Herusatoto 2000 : 78)
Dari penjelasan para ahli komunikasi dan sosial tadi, kemudian terdapat pembagian atau klasifikasi terhadap media itu sendiri. Cara paling umum yang biasa digunakan untuk mengklasifikasi media adalah membaginya dalam:
- Media Cetak seperti surat kabar, majalah, buku, billboard
- Media Elektronik seperti radio, televisi, telepon, komputer, CD Room, Internet
- Media Fotografi seperti fotografi, film, video
Namun pada sebagian sumber yang ada, pembagian media didasarkan pada teknologinya. Sebab media dipandang sebagai sebuah alat penyampaian pesan. Dari klasifikasi yang berdasar pada teknologi didapatkan dua jenis media:
- Media Tradisional dan
- Media Moderen
Konsep yang menjadi dasar klasifikasi media tersebut masih dirasakan sangat kabur, sehingga perlu untuk ditelaah lebih lanjut lagi. Menurut James Lull, moderenitas[1] dipandang sebagai suatu keadaan perkembangan ekonomi, teknologi, politik dan budaya yang biasanya dibahas dalam pengertian bangsa. Moderenitas biasanya mengacu pada suatu kombinasi dari praktek-praktek ekonomi pasca industri yang berorientasi pada konsumen (pasar), suatu tingkat perkembangan teknologi yang tinggi, suatu bentuk politik yang demokratis, dan meningkatnya pengaruh sirkuler secara keseluruhan. Yang menjadi esensi dari konsp moderen adalah penerapan teknologi yang tepat guna artinya efisien dan efektif.
Kaitannya dengan media, tepatnya media moderen (dipakai untuk membedakan dengan media tradisional) adalah media yang menggunakan teknologi tepat guna, teknologi tinggi tepatnya. Contohnya seperti surat kabar, majalah, televisi, radio, internet dan film. Hampir semua media cetak, elektronik dan fotografi dikategorikan sebagai media moderen.
Sedangkan yang dimaksudkan dengan media tradisional adalah media yang masih sederhana baik dalam segi fisiologis maupun morfologisnya, yang merupakan ciptaan masyarakat yang fungsi dan perannya disepakati secara bersama. Unsur teknologi yang terkandung dalam media tradisional sangat minim dan bahkan bisa dikatakan tidak ada. Media tradisional, khususnya di Indonesia, berupa kentungan, gong, ketoprak, wayang, dan seni pertunjukan lainnya.
Lebih lanjut lagi, media tradisional digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan yang sudah disepakati artinya oleh anggota masyarakat yang bersangkutan. Misalnya para peronda di malam hari, atau masyarakat yang terkena musibah atau kecelakaan lainnya biasa memukul kentungan dalam rangka memberi tahu para tetangga supaya segera memperoleh pertolongan. Kentungan dalam hal ini berfungsi sebagai sebuah perantara atau pembawa pesan atau informasi dari satu orang kepada orang lain (Yusup 1990). Pertanyaan yang mungkin muncul adalah bagaimana dengan peran media tardisional dalam pembangunan?
Satu di antara pendorong dinamika pembangunan masyarakat adalah media. Oleh karenanya kajian media terhadap pembangunan dirasa sangat penting untuk dilakukan. Hal ini senada dengan pendapat Rogers:
“di banyak negara Dunia Ketiga, pembangunan khususnya di wilayah pedesaan masih merupakan tantangan bear yang harus yang harus dihadapi. Pelaksanaannya memerlukan berbagai sumberdaya, termasuk media (massa). Dukungan media diperlukan, antara lain menumbuhkan suasana yang kondusif bagi pembangunan. Agar partisipasi masyarakat pedesaan itu menjadi lebih bermakna, media dituntut untuk mengantarkan berbagai rupa informasi dan pengetahuan kepada mereka”
secara terpisah, Wilbur Schramm memberikan 3 fungsi media dalam pembangunan:
- Memberitahu rakyat tentang pembangunan nasional, memusatkan perhatian rakyat pada kebutuhan untuk berubah, memberikan kesempatan untuk menimbulkan perubahan, dan jika mungkin mampu meningkatkan aspirasi.
- Membantu rakyat berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan, memperluas dialog, dan menjaga agar informasi mengalir lancar baik ke atas maupun ke bawah.
- Mendidik rakyat agar memiliki keterampilan
Kemudian kajian media terhadap pembangunan makin diperdalam. Dalam kasus ini, fungsi dan peran media tradisional dalam proses pembangunan mendapat perhatian khusus.
Di sini, saya lebih memfokuskan pada media ketoprak sebagai media tradisional yang bersifat menghibur namun juga berperan dalam pertukaran inovasi, untuk menjelaskan fungsinya dalam proses pembangunan di Indonesia. Dalam bukunya Media Rakyat, Manfred Oepen mengatakan bahwa di Indonesia sistem komunikasi yang berkembang adalah sistem komunikasi tradisional, yang dalam implementasinya mengacu pada penggunaan media tradisional. Media tradisional disini dapat dipahami seperti rembug desa, dan juga kesenian tradisional macam kethoprak, wayang, sandiwara, ludruk, dan juga bentuk kesenian teater daerah lainnya. Media tradisional itu sendiri kemudian mendorong adanya interaksi sosial dengan jaringan antar perorangan (Oepen 1988). Media rakyat didefinisikan sebagai media yang menampung partisipasi masyarakat sebagai perencana, pemroduksi, pelaksana, dan merupakan sasaran bagi masyarakat untuk mengemukakan sesuatu bukan untuk menyatakan sesuatu pada masyarakat. Komunikasi masyarakat mengungkap pertukaran pandangan dan berita, bukan penyaluran dari satu sumber kepada sumber lain. Melalui pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa sifat komunikasi yang berlangsung bukan lagi top-down, sebab mendorong terjadinya saling tukar pengalaman dan gagasan. Media kethoprak menjadi sarana pengungkapan ekspresi masyarakat, yang selanjutnya menjadi sarana pembebasan. Dengan lakon-lakon yang diangkat ada semacam singkronisasi antara wacana yang berkembang di masyarakat dengan lakon yang akan dipentaskan. Kemampuan sutradara dalam menyanggit lakon juga sangat mendukung ungkapan ekspresi masyarakat. (Oepen 1988).
Sebagai sebuah media, kethoprak tentunya membawa nilai-nilai, norma serta perilaku yang pada gilirannya menjadi panutan bagi masyarakat yang terkena terpaan pesan kethoprak serta dimana kethoprak tersebut hadir. Media kethoprak harus mampu menyiarkan pesan-pesan yang merefleksikan aspirasi-aspirasi, mitos-mitos dan isu-isu sosial serta peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat. Menurut Budhisantoso, melalui media rakyat atau tradisional yang bersifat hiburan dapat membawa pesan-pesan pembangunan. Sekaligus media tersebut juga menjalankan fungsi pendidikan bagi penduduk desa (Gunardi 1988). Oleh sebab itu ketoprak dapat digunakan untuk menyampaikan pengetahuan kepada warga masyarakat seperti pemahaman di bidang sosial, politik, ekonomi, budaya maupun ketahanan nasional. Dengan demikian masyarakat memperoleh tambahan pengetahuan antara lain di bidang pendidikan bahasa, agama, kesehatan, kesenian, Keluarga Berencana, teknologi dan sebagainya yang merupakan bagian dari pembangunan bangasa. Selain daripada itu, ketoprak juga menanamkan dan mengukuhkan nilai-nilai budaya, norma sosial dan falsafah sosial.
Hambatan yang dialami oleh ketoprak sebagai media komunikasi pembangunan, dan juga media tradisional lainnya sangat beragam. Yang paling mencolok adalah persaingannya dengan media moderen. Media tradisional semakin tersisihkan, kentungan digantikan cell phone dan koran, ketoprak disisihkan oleh radio dan televisi. Belum lagi dengan masuknya film dan video serta bioskop. Tingkat keefektifitasan dan efisiensi yang dimiliki oleh media baru tersebut merupakan alasan utama media-media tradisional di sebagian besar daerah di Indonesia semakin ditinggalkan. Khususnya dalam kegiatan pembangunan. Masyarakatnya sendiri yang sudah mulai “moderen” secara perlahan meninggalkan media-media tradisional yang ada. Di samping itu media tradisional seperti ketoprak mengalami kendala pada finansial, artinya sedkit sekali masyarakat yang mau berinvestasi pada “industri” ketoprak. Westrenisasi juga mengambil peran penting, dalam hal ini generasi muda lebih menyukai media yang baru yang menyajikan kenyataan semu yang direkayasa dengan kepentingan para kapitalis. Sehingga budaya bangsa Indonesia semakin ditinggalkan, bahkan tenggelam di tengah budaya baru.Dalam perkembangannya kemudian sering kali kethoprak menjadi rapuh terhadap pemanfaatan sebuah ideologi tertentu. Hal ini tidak lepas dari cerita kethoprak yang memang penuh dengan imajinasi. Kebudayaan tutur yang berkembang dalam masyarakat menjadikan banyak versi cerita pada satu lakon yang sama. Contoh konkretnya adalah pada era pendudukan militer Jepang, kethoprak dengan begitu efektif menciptakan imaji massa atau sering disebut dengan imagined communitiest. Cerita kethoprak mampu merasuk dalam diri masyarakat, sehingga kethoprak saat itu dimanfaatkan oleh berbagai organisasi pemuda untuk alat propaganda serta pengumpulan dana swadaya dari masyarakat. Era 1964-1965 kethoprak juga menjadi primadona kelompok kepentingan guna mencari dukungan baik finansial, tenaga, maupun pikiran. Bukan tanpa alasan mengapa kemudian Kethoprak selalu mengangkat lakon-lakon yang bertemakan kehidupan kerajaan tertentu. Semula kethoprak sendiri muncul karena keprihatinan masyarakat sendiri yang hendak mencoba berkomunikasi dengan pihak dalam kerajaan. Namun karena minimnya akses maka masyarakat yang umumnya bisa dibilang kelas pekerja itu mencoba mensatirekan kehidupan, pakaian, musik, dan perbincangan kaum aristrokat.
[1] Istilah moderenitas juga mengacu pada suatu tahapan dalam sejarah dunia seperti posmoderen. Akan tetapi pemakaian istilah ini banyak menimbulkan masalah, karena banyak bagian dunia ini belum moderen apalagi posmoderen.
Daftar Pustaka
- Gunardi, Media Tradisional dan Pembangunan. Komunikasi Massa Komunikasi Pembangunan Pedesaan di negara-Negara Dunia Ketiga: Suatu pengantar, Gramedia, Jakarta, 1988.
- Lull, James, Media Communication Culture, a global approach, Brazil Blackwell Publisher, England, 1995.
- McQuail, Dennis, Mass Communication Theory. Second edition, alih bahasa Agus Dharma, Erlangga, Jakarta, 1987
- Oepen, Manfred. Media Rakyat, P3M, Jakarta 1988
- Susanto SJ, Budi. 1997. Ketoprak (The Politics of the Past in the Present Day Java) Yogyakarta : Kanisius
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.