October 21, 2008

Kisah Temanku dengan Sampah

semuanya berawal dari sebuah pertanyaan sederhana 'siapa aku?'
Seorang pengembara sedang duduk di barisan paling belakang pada sebuah restoran siap saji di kawasan sarinah. tiga kursi yang mengelilingi sebuah meja bundar di depannya masih saja kosong. hanya sebuah asbak dan secangkir kopi panas di atas mejanya. sesekali dia melirik ke arah jam di dinding ruangan itu yang entah kenapa bergerak sangat lambat, lebih lambat dari detak jantungnya sendiri. aneh. secangkir kopi tidak menunjukan efeknya sebagaimana wajar. si pengembara masih terdiam, menunduk dan sesekali menghela nafas panjang bersama kepulan asap rokok rendah nikotinnya. wajah lusuhnya lebih sering terlihat memandangi dengkulnya sendiri. otaknya berkelana dalam pengembaraan dan matanya penuh dengan kekosongan. kosong bagaikan miliaran butir pasir di tepi laut.

hei !! aku menghardik. membuyarkan perjalanan spritualnya. dia mengadah dan melemparkan senyum... koq lama amat sih, dah hampir jadi fosil neh. sorry, sorry baru aja selesai. ya gapapa, tapi bayarin minum gw yah. OK, whatever u want!... kami berpelukan. agak aneh memang, dia memeluk diriku saat kutawarkan sebuah jabatan tangan. makin lama pelukannya makin erat, seolah ada kelegaan di dalamnya. perasaan yang sama ketika aku dipeluk ibuku yang baru kutemui bulan lalu setelah sembilan tahun tak bertatap muka. namun aku dan si pengembara sering bertemu muka, bahkan empat hari yang lalu kami masih bercanda ria di rumahnya. ayo duduk, gue mo cerita. dia kembali duduk dan aku memilih kursi yang tepat di depanya. tak lama berselang seorang gadis kurus datang dan menyodorkan menu. aku memesan segelas kopi dan kentang goreng. menu standar buat ngobrol di malam dingin. lu lagi kenapa? aku bertanya padanya. si pengembara tersenyum, lalu menunduk. ada masalah apa? kembali aku bertanya, menyelidiki. perubahan mimiknya tak dapat menipu mataku. aku tahu kalau dia sedang mengalami masalah yang sangat berat. mungkin dengan pekerjaanya, keluarganya atau dengan dirinya sendiri. aku tak mau lama menunggu jawabnya, sama halnya dengan menunggu lama secangkir kopi pesananku. dan betul saja, ketika kopiku telah hadir di atas meja, ia mulai membuka mulutnya. siapa aku? ... siapa aku bagimu? dia bertanya padaku. aku terkejut dengan lontaran pertanyaan macam itu. kopi yang baru saja kuseruput tidak bisa bergerak sesaat. jam dinding itu berhenti berdetak dan jantungku berpacu bagai piston mobil balap yang dikebut saat start. kami bertatapan untuk lima detik dan lima detik itu memang tidak pernah ada karena waktu tidak pernah bergerak saat ia bertanya. koq nanya-nya begitu? cuman pingin tahu aja, katanya. lu pernah beli tempat sampah gak? belum selsai pertanyaan pertam terjawab, dia bertanya lagi. kali ini sebuah pertanyaan yang aneh menurut pikiran ku yang struktural ini.

Tempat sampah? eee ... kemaren gw beli tempat sampah biru. standarlah buat meja kantoran. tau kan? yah.. aku menjawab sambil menyalakan rokok. emang di kantor lu ga disediain tempat sampah? bukan. bukan buat kantor. tapi buat kamar tidurku. loh koq ... lagi lagi aku tak bisa memahami logikanya. jika ruang tidur dan tempat sampah disatukan, maka pastinya banyak sampah yang dihasilkan di ruang tidur. dan karena ruang tidur adalah tempat dimana aktifitas yang menghasilkan sampah hampir tidak ada, tentunya tempat sampah itu cuman jadi pajangan belaka. ngapain taruh tempat sampah di kamar tidur?

sekitar limabelas tahun lalu aku pernah tidur di sebuah tempat sampah yang sangat besar. di dalamnya hanya ada aku dan bangkai, eh... mayat seorang laki-laki. aku menyampah, dia juga. kami menyampah dengan penuh hasrat. demi sebuah kata sampah. yah sampah untuk masa nanti. Dan dia mulai berceritera ....

Lalu kucium lembut keningnya, dan kubisikan padanya “trust me you are always on my mind”.

Wahai sahabat-sahabatku yang tersebar di kota itu, bila kalian melewati kuburan di dekat rimbun cemara itu, masuklah dengan mulut terbungkam dan melangkalah perlahan agar derap kakimu tidak mengganggu tidur orang yang sudah mati itu. Berhentilah dengan rendah hati di kuburan sahabatku dan sampaikan salamku pada tanah yang menutupi kuburan. Sebutlah namaku dengan desahan yang dalam lalu katakan pada dirimu “di sini segala harapan dan kenangan seorang Florentina, ia hidup laksana seorang tawanan. Dengan serta merta dia kehilangan kegembiraannya, menampakan air mata dan melupakan senyumannya.” Wahai sahabat-sahabatku, aku mohon kepada kalian atas nama seluruh gadis-gadis yang kepada mereka hati kalian pertaruhkan, agar meletakan karangan bunga duka cita di atas makam orang yang kuhormati itu, barangkali, bunga-bunga di pelataran kuburan sahabatku itu, menjadi laksana setetes embun yang dititikan pelupuk sang fajar pada bunga mawar yang layu. Diadaptasi dari The Broken Wings, karya Khalil Gibran

Hari itu tanggal 2 November tahun 1997, cuaca sangat cerah seakan memberkati kota kecil itu. Sayup-sayup terdengar lantunan I Will milik Beatlles yang dibawakan ala acoustic. Sementara itu sinar mentari menyembul melalui celah jendela mengusik mimpi. Perlahan terbangun, mencari sisa tenaga untuk dapat melebarkan kelopak mata, melepaskan kantuk yang masih ada. Berjalan gontai ke kamar mandi menjalankan ritual pagi. Sementara itu Joe Crocker dengan You’re So Beautifull menjadikan pagi itu sebagai pagi paling indah dalam sejarah hidup seorang anak manusia. Seperti biasanya, secangkir kopi sudah tersedia di meja dengan dua potong honey milky toast. Kunikmati itu sambil merencanakan kegiatanku di hari yang indah itu. Hari ini aku ingin ke pantai. Hari ini aku ingin ke pantai, bercanda dengan camar dan menikmati hangatnya ombak di sela jari kakiku. Hari ini aku ingin ke pantai, kubawakan seikat mawar putih dan kutancapkan di putihnya pasir lalu kuteriakan kebodohanku. Hari ini aku ingin ke pantai, ahh tidak... sebaiknya hari ini aku mati saja.

Yah ... mati, itu lebih baik. Tapi aku ingin mati di pantai. Disaksikan oleh camar dan diseret ombak. Sebaikanya aku mati di pantai, tertimbun pasir. Tapi, aku tidak ingin tangisku terbawa angin. Aku tidak ingin teriakanku disebarkan angin dan camar-camar itu. Aku tidak ingin ombak menggelitikku dan mentertawaiku. Biar saja pasir yang menutupiku, pasir yang putih. Aku hanya ingin pasir putih, agar tidak tersesat dalam kelamnya liku hidupku. Dua potong roti tadi sudah ludes, kopi hitam yang agak pahitpun tinggal ampasnya saja yang semakin pahit saja. Sebelas jam sudah hari itu berlalu, tapi aku masih terpenjara dalam ruang empat meter persegi itu. Persiapan telah komplit. Saatnya pergi. Saatnya kembali ke dunia nyata. Saatnya kembali menghadapi kenyataan. Dengan sigap C90s buatan tahun 1982 itu mengantarku. Mengantarku pergi ke tempat tidur sahabatku itu. Disana dia masih saja tertidur, masih saja terus tenggelam dalam indahnya mimpi. Ahh seandainya aku bisa ikut melihat mimpinya atau sekedar hadir dalam mimpinya tentu akan bahagia diriku. Tapi itu tidak akan mungkin terjadi, aku tidak mungkin melewati batas ke-pribadi-an-nya. Mimpi adalah hal yang paling privat bagi seorang manusia. Jadi biarkan saja imajinasi liarnya terbang dan berputar aku tidak ingin mengaturnya. Karna hanya disanalah dia merasa bebas, merdeka dan utuh sebagai manusia. Sadar akan kehadiranku, dia terbangun dan tersenyum padaku. Seakan berkata “aku sudah menunggu kehadiranmu” dia mempersilahkan aku duduk di sampingnya.

“Hai” sapaku padanya namun tidak sepatah katapun keluar dari bibirnya. Dia hanya tersenyum kecil melihat diriku yang tampak lusuh. “Cuma sedikit lelah koq, kurang tidur, bukan masalah besar”, sambil duduk disampingnya aku membukakan minuman ringan kesukaanya. “hari ini lagi pingin ke pantai, lihat ombak. Camar-camar disana pasti sudah kangen” ceritaku padanya, memulai percakapan. “apalagi cuaca cerah begini, airnya pasti hangat. Pasti banyak ikannya, mancing yuk” ajak-ku padanya yang sedari tadi masih tersenyum melihatku sembari menikmati minumannya. “ayo ikut ya, nanti disana kita berendam sepuasnya. Abis itu kita makan ikan hasil pancingan kita. Trus tiduran di bawah naungan pohon kelapa. Mau ya... ikut ya..” aku merengek, memohon satu anggukan darinya. Ah dia masih saja tersenyum, memandangku dalam-dalam. Aku bia lihat di mata bulatnya bahwa dia merasa lucu akan sikapku yang tidak biasa ini. “hari ini aku lagi ingin ke danau, penasaran. Pengen tahu sekarang warnanya apa saja” tiba-tiba dia memecah keheningan antara kami berdua. “sudah setahun aku tidak ke sana lagi, pasti sudah lain warnanya” lanjutnya lagi. “iya yah.... sudah lama juga, kira-kira warnanya apa sekarang?” sambil menatap birunya langit dia menjawab ”paling biru, putih trus hitam” ... ”ah mana mungkin” tandasku “paling warnanya sekarang ungu, hijau trus merah” lanjutku lagi. “bisa jadi, tapi kalo berangkatnya sekarang pasti kita ga bisa liat apa-apa, jam segini kabutnya tebal” katanya dengan perasaan sedikit menyesal. Lalu kami bercerita dan bercerita tentang apa saja. Banyak hal yang kami bicarakan. Mungkin hari itu adalah hari paling komunikatif antara kami berdua. Hari paling diskustif yang pernah kami alami.

Tak biasanya kami berbincang dengan lancar, biasanya juga dia hanya terus diam mendengarkan berbagai suara yang keluar dari mulutku. Namun hari itu, dia aktif sekali bercerita dan terus bercerita dan sesekali dia meminta tanggapanku. Hari itu indah sekali. Larut dengan obrolan tentang masa lalu, tentang rencana masa depan dan tentang kegiatan akhir-akhir ini membuat kami tak menyadari panas dan teriknya sang surya. Sementara itu jam di tangan sudah menunjukan pukul tiga sore. Sudah tiga botol minuman ringan yang dihabiskannya, sementara hampir empat botol root beer, dua bungkus rokok dan beberapa bungkus kacang sudah kuhabiskan. Sore itu udara memang terasa panas namun belaian lembut angin seakan mengajak untuk terbang ke alam mimpi. “Gal, kann ich hier schlafen?” tanyaku padanya “sebaiknya begitu, jangan paksakan untuk pulang. Nanti kamu kenapa-napa.” Jawabnya. Setelah mendapat persetujuan darinya, saya merebahkan diri disampingnya. Tampaknya belaian angin dan minuman fragmentasi tadi sudah bereaksi. Dia kemudian berbaring disampingku, matanya terus menatapku. Harus kuakui, tatapannya telah membunuh waktu, membuka dan menelanjangiku. Tatapannya saat itu sangat lain. Seakan ingin berterimakasih pada diriku, seakan ingin mengajakku pergi ke surga itu, tempat para bidadari bernyanyi di lautan cahaya. Tak kuasa sukma ini ditelanjangi oleh tatapan matanya.

Seandainya kubawa trip35 ku akan kuabadikan tatapannya itu. Akan kuabadikan wajah itu. Tapi biarlah, segini saja aku sudah puas. Tapi masih aku ingin menguak misteri tatapannya itu. Lembut membelaiku dan seakan menaungiku dari teriknya sinar mentari. Aku terbawa ke gerbang antara, mata ini terasa berat namun sukma ini masih ingin menikmati tatapannya. Dia meletakan kepalanya di dadaku, memelukku hangat. Seakan tak ingin melepas satu sentipun bagian dari raga ini. Lalu dia menyanyikan lagu Always On My Mind-nya Elvis Presley, semakin membuatku terhanyut ke alam mimpi. Namun bibir ini tanpa sadar ikut menyanyi bersamanya.

“And maybe I didn't treat you Quite as good as I should have Maybe I didn't love you Quite as often as I could have Little things I should have said and done I just never took the time You were always on my mind You were always on my mind And maybe I didn't hold you All those lonely, lonely times And I guess I never told you I'm so happy that you're mine If I made you feel second best Girl I'm sorry I was blind You were always on my mind You were always on my mind Tell me, Tell me that your sweet love hasn't died Give me, give me One more chance to keep you satisfied I'll keep you satisfied” Lalu kucium lembut keningnya, dan kubisikan padanya “trust me you are always on my mind”.

Kini aku telah berada di ruang empat meter persegi. Disamping kiri ada adikku. Aku sedikit terkejut. Ahh .. baru kusadari sudah sejak jam sebelas siang aku disana, sejak jam tiga sore aku terlelap, dan sekarang jam sembilan malam. Sayup-sayup kudengar suara dari radio memainkan lagu always on my mind... lalu adiku berkata padaku ”Kakak ketiduran lagi di sana. Untung saja tadi oom Dion telpon, Bapak langsung jemput”. Kuacuhkan suara adikku itu, aku masih terus fokus pada suara yang diputar di radio itu. “Gal, you’re always on my mind.....” tak sadar aku membisikan kalimat itu dalam kekosongan pikiranku. Lalu adiku berkata “kak, dia sekarang sudah bahagia di atas sana, jangan rusak itu. Jangan rusak kebahagiaanya dengan merusak hidup kakak. Sayang juga sama orang lain yang sayang sama kakak. Seperti sayang kakak ke dia.” Tanpa sadar air mata mengalir, sesaat kemudian membanjiri bantalku. ....

Aku meneguk ampas kopi dari cangkirku, menyedot racun dari isapan terakhir rokoku. Terdiam sebentar, lalu kukatakan padanya 'besok nemenin beli tempat sampah yah, gue yang traktir' ... Pengembara menatap padaku, tersenyum dan berkata 'lu emang teman curhat paling unik say' ... kamipun pergi dari tempat itu, menyusuri malam sepi ibukota dan mencoba untuk tidak menyampah hingga pagi tiba.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.