October 20, 2008

Kisah Seorang Teman yang Sakit

Seorang teman menuliskan di buku hariannya, sebuah puisi yang kemudian dia bacakan di hadapanku. Puisi dari kekasihnya yang ditulis khusus untuk dirinya bukan puisi yang sering digunakan untuk mendekati yang lain dan juga ditulis orang lain. kekasihnya pernah menulis puisi untuk seorang dan kemudian menulis lagi puisi itu untuknya. temanku marah, katanya kau ingin memulai sesuatu yang baru dengan ku, kenapa masih kau pakai cerita masa lalumu dengan orang lain kepadaku. Temanku itu memang egois, namun bukankah hal itu telah disepakati oleh dia dan kekasihnya, yang kepadanya, kekasihnya itu merasakan 'rumah' ... akupun mulai menjadi pendengar setia kisah teman terkasihku itu dengan diselingi kopi tubruk dan beberapa lintingan ganja di sebuah mata air yang jauh di pedalaman, dia pun berkisah ...

aku cinta kau seutuhnya ...
aku cinta kau apa adanya ...

aku cinta kau dengan segala isi di kepalamu

dan itu membuatku sakit perut
namun
aku tidak pernah
mencintai sakit
di perutmu

aku terlalu capek untuk mengulang hal yang sama

menjadi sakit terutama bagian perutku
menjadi akut walau sudah berkali kali apotik mengganti resep


kaukah itu? suara itu menghentikan langkah kaki. perlahan metutup pintu dibelakangnya, membuat derit kecil memanjang bagai coda paduan suara kathedral pada malam paskahnya yang mistis. sama mistisnya dengan ruang pengakuan dosa yang berukuran empat kali tiga. di tempat itu pula dosa berubah menjadi bayi phoenix, yang lahir dari abunya sendiri setelah terbakar habis. hanya saja ruangan itu bukan ruang kebangkitan dosa walau aroma kesakralan merebak dalam ukurannya yang sama, dikelilingi dinding beton yang tinggi dengan langit langit dari papan kayu kenari yang divernish. dan sebuah jendela yang lebih mirip pintu karena ukurannya pada sebuah sisi yang mengarah ke barat. yah, ini aku... . yah inilah aku yang kamu cari. Ia masih terus menatap. mata-mata indahnya harus tertutup rapat sehingga tak seberkas cahayapun dapat menembus untuk menciptakan imaji semu dalam nyata. yah mata cokelatnya. hanya itu yang rusak dari kesempurnaan karya agung sang abadi. puncak sebuah pencaharian bagi para pematung yang terobsesi akan kata indah. aku telah menunggumu. bahkan aku mungkin sudah tertidur jika tak mengawasi langkah kaki di lorong itu. kaki kaki kecil berlarian, dan terkadang membumbung setinggi enampuluh sentimeter. lebih tinggi dan tinggi lagi hingga akhirnya tak menyisakan jarak dengan rerumputan. kaki kaki kelelahan di pematang sawah. kaki kaki dengan betis dihiasi varises di pesisir pantai. tak ketinggalan kaki kaki molek dipenuhi panu dan kudis pada sebuah peragaan busana. borok dengan bau amis pasar ikan. tidak, baunya lebih mirip karbit. lebih bau dari nafasnya yang terengah engah saat mengarungi surga bersama seorang 'iblis betina dari negeri matahari terbit' yang lebih mirip terompet tahun baru yang ditiup di ruang pengap seukuran lagi lagi ruang pengakuan dosa. terompet tahun baru bergema bersahutan. si iblis betina yang kerasukan (bagaimana bisa iblis kerasukan sesuatu yang tak lebih setan dari iblis) mulai melengking. memantra dan mencakar. si pria mengenjan entah menahan perih di punggung karena cakar si iblis sudah makin dalam atau pekak dengan pekingan si iblis. dan cicak yang sedari tadi terdiam di langit langit berdecak panjang. seakan kagum atau iri pada yang ia saksikan. sial bagi si cicak, keesokan pagi ia harus berakhir menjadi sarapan arwana. peliharaan iblis betina dari negeri matahari terbit.

perlahan ia menghampiri suara itu. langkahnya lebih lambat, bahkan bagai tak berkaki ia bergerak ditiup angin. tepanya ditarik aliran udara yang keluar masuk dari hidung lawan bicaranya. aku pulang (nadanya lirih). yah aku pulang. aku pulang disaat libur natal yang salah tempo itu makin dibenarkan oleh tradisi banal. pulang kemana. tentu saja rumah. aku adalah burung elang yang selalu pulang ke rumah. setelah semusim berkelana memburu kelinci, ular, ikan bahkan anak ayam. aku akan pulang ke rumah. di luar sana aku adalah elang. disini aku tak jauh beda dengan anak ayam yang kusantap saat sakit di perutku dan dibagian lebih bawahnya semakin menjadi. anak ayam yang selalu ingin berlindung di ketiak ibunya. bersembunyi di balik anggun lurik kemerahan sang ibu. dan dia, yang matanya tertutup rapat selalu memberiku sesuatu yang kudapatkan dari pencarianku akan kata rumah. dia rumahku. dan aku pulang ke rumahku itu. wajahnya yang berkilauan memantulkan cahaya sore yang menyusup secara paksa lewat tirai jendela besar itu. kemerahan. dan motif lurik bayangan tirai menempel di sekujur tubuhnya.

sang elang pemburu melihat anak ayam itu bersembunyi disana.
dia hanya duduk disana. menghadap ke datangnya cahaya. seolah menikmati tampilan visual yang hanya bisa ia kenang. yah yang hanya bisa ia kenang. kaki kakinya tak dapat melangkah lebih jauh. tubuhnya keletihan. ia tumbang ke tanah. raut wajahnya kemerahan terkena sinar yang masih sama. ia hanya bisa mengenangnya. ketika itu tawanya selalu menghiasi hamparan di hadapan jendela itu. jejak kakinya selalu bisa kau temukan disana. di anatara rerumputan, di antara pasir dan juga batu karang. batu karang yang menggores kaki mungilnya. meninggalkan bekas dua belas jahitan di sela jari manis dan kelingking kirinya. namun tidak bisa membuatnya berhenti menjejakan kakinya untuk kesekian kali. senyumnya tersungging. bibirku menyentuh jidatnya dan kenangan itu berganti sadar. lalu, bagai lanchelot di hadapan guinevere aku berlutut di hadapanya. merengkuh jemari tanganya yang dua dengan lembut dan menciumnya. kuletakan di pahanya, kepalaku. kepalaku yang juga sarang seekor singa yang terus memakan otak kiriku. sementara otak kananku digerogoti asu. jawanya dicokot. asu yang aku pelihara sejak aku duduk di bangku esempe. adapun singa itu kudapati di sebuah hutan yang ditunggui seorang pria berjanggut dan bertubuh bungkuk. hutan yang kini sudah tidak berpohon dan berbatu besar itu kumasuki saat tergabung dalam komunitas pecinta alam kampusku. yah ... kampusku tercinta yang penuh dengan bau darah dan pesing. penuh dengan wajah-wajah asing yang saling mencurigai. belum lagi dedemit yang katanya menunggui kamar mandi lantai tiga bagian utara. konon kata satpam yang bertubuh gempal itu, penunggunya adalah wanita muda yang cantik jelita. yayuk namanya. sakit perut ku seakan kambuh saat kudengar nama yayuk disebut. mual hingga ke tenggorokanku. kepalaku masih terbenam di pahanya. tanganya membelai lembut rambutku.

perutku mual dan aku muntah muntah di kamar mandi lantai tiga bagian utara.
yayuk. nama yang membuat sakit di perutku kambuh. lebih lagi sakit itu menjalar ke bagian bawah perutku. gadis jawa tengah berparas cantik dan sintal itu lebih sering kulihat copyanya di iklan produk kecantikan ketimbang di kamar mandi lantai tiga bagian utara kampus keparatku. yayuk memiliki segalanya untuk jadi bintang dan ia punya segudang alasan untuk membuatku mual tak karuan bagai perawan yang dibuahi tiga bulan lalu. bukan di kamar mandi lantai tiga bagian utara. tapi di ruang praktek kamar gelap klub foto, lantai satu bagian utara. sang perawan yang untuk pertama kalinya melihat proses putih menjelma hitam pada kertas yang basah oleh cairan kimia terkulai lemas. air mata di pipinya membulir. perih di pangkal pahanya berpadu degup jantungnya yang tak tentu. kepalanya mengambang. dan kepalaku masih terbenam di antara pahanya. jemarinya meremas dalam belaian lembutnya.
dada sang perawan diremas kencang oleh ratusan kata dalam kepalanya. kukira itu dari hatinya. namun jauh setelah itu terjadi, kutahu kepalanya lah sumber suara itu. sakit di perut sang pria terobati. sorot matanya penuh kemenangan. menatap sang perawan yang terkulai. tapak mengelap noda merah di lantai. darah segar. kini perutnya tak sakit lagi. tapi kepalaku masih terbenam di antara pahanya.
bagian belakang kepalaku dicium lembut. nafasnya kurasakan di tengkuku. mengereksikan kuduku. tapi kepalaku masih terbenam di antara pahanya. anak ayam bersembunyi pada ibunya.

aku terkulai lemas. mual masih kurasakan. kupaksakan untuk keluarkan isi perutku. hasilnya, jariku melukai tekak dan perutku makin sakit. aku terkulai di kamar mandi lantai tiga bagian utara. namun dia masih berdiri disana. pria berjanggut bertubuh bungkuk dengan seekor singa yang nantinya memakan hampir sepertiga otak kiriku. singa itu menggeram padaku. melihatku sebagai mangsa. hei, bukankah orang tua itu ada disampingmu. mangsalah ia, tak mungkin ia melawan. tubuh bungkuknya tak mungkin mengelak dari terkamanmu. hai singa. beraninya kau masuk wilayahku. kamar mandi lantai tiga bagian utara adalah teritoriku. siapa kau berani mengusiku. darah keluar dari mulutku. pria tua berjanggut itu berseru dalam tata bahasa yang aku tak mengerti. makin tinggi nadanya dan saat sampai pada pitch tertinggi, singa yang sedari tadi berdiri disampinya menerkamku. mencabik tubuhku dengan kuku tajamnya. menggigit leherku sebagaimana singa gunung memangsa kambing penyakitan. aku diseret, dikoyak dan akhirnya tak sadarkan diri. terjatuh di antara pahanya. dan kepalaku terbenam disana.

sendirian. sendiri meratapi kegelisahan di antara pahanya. terlebih saat bayangannya hilang di antara penumpang Mandala jurusan denpasar. terbang dan hilang dibalik awan dihiasi petir dan menyimpan dendam pada bumi dalam air hujan. bangsat. kenapa sama dengan waktu lalu. lagi lagi kehujanan di bandara. soekarno hatta duaribulima memprokalimirkan kemerdekaan. laksda adisucipto duaribu enam masuk penjara. penjara dengan jam besuk tak tentu. bahkan hampir saja tak pernah dibesuk seandainya dokter tak mengumumkan perihal sakit di perutnya yang makin akut. harus dioperasi katanya sombong. diiris dengan pisau, dipotong dan dijahit. biar tak mengganggu lagi. tapi fakta berbicara lain. sang dokter salah operasi. bahkan sakit di perutnya makin menjadi. pada akhir duaributujuh sakit di perutnya kambuh. oleh sengatan kupu kupu gemuk di malam ibukota. seperti halnya kupu kupu, yang terbang kesana kemari, kupu kupu gemuk yang satu ini punya sayap yang bisa membawanya menikmati bunga tulip langsung di tempatnya berasal. sakitnya makin parah saat tahu kalau kupu kupu itu ternyata seedang sakit. bahkan hampir akut. jangan kau bayangkan kupu kupu gemuk ini seperti kupu kupu murahan yang bisa kau beli di perempatan jalan atau di pasar malam sebagai hiasan gantungan kunci. salah besar. dia jenis yang berbeda. dari genus yang langka. tidak hanya warnanya yang indah, sengatannya lebih berbisa dari kobra. kau tentu tahu kobra bisa membunuh dalam hitungan detik. tapi kobra tak bisa membuat kau melayang dalam sekarat. kau hanya bisa merasa hampa karena bisa tapi luka berbekas. kupu kupu gemuk ini bisa membuatmu merasakan nikmatnya sekarat tanpa meninggalkan luka. dan sekali lagi sakit di perut kambuh. sekarat dan menunggu ajal di parkiran. saat kupu kupu menyengat dalam jazz merah bangku penumpang. sudah kubilang kencangkan sabuk pengaman. ini akibatnya jika kau tak mendengar. sialan. mengutuk diri di antara pahanya.

seseorang mengetuk pintu. membuyarkan dialog bisu. kepalanya bangkit dari antara pahanya. jemarinya merenggang. mencium keningnya, berjalan menuju pintu. kembang api tahun baru menghiasi langit. merayakan berakhirnya waktu lalu dan memulai waktu baru. menyusun perlahan serpihan anima dari balik ilalang lereng merapi. mendendangkan pengharapan dalam lantunan balada blues bernada dangdut melayu.

aku tertidur pulas setelah temanku itu selesai berceritera, tak sempat kulalui pergantian tahun. lagipula tak banyak yang baru, tak banyak yang berubah. sudalah... aku bosan dengan perubahan. aku muak dengan perubahan apalagi ketika aku harus berubah dari pengembara menjadi tahanan rumah. lebih baik aku berkisah dengan sahabatku yang paling kukasihi ini, yang terbaring dengan sakit perutnya ...

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.