catatan kaki perjalanan ke Dusun Gowok Pos - Muntilan
Setelah sempat dihantam 2 musibah yang paling membekas dan meluluhlantahkan seisi Jogjakarta, yakni letusan Merapi dan gempa bumi yang terjadi beberapa tahun lalu, saat nya bagi anak anak Jogjakarta (umumnya) dan Gowok Pos (khususnya) menikmati dunia mereka, dunia tanpa tangis dan dunia penuh kebahagiaan. Saatnya memerangi post traumatic syndrome akibat mahadaya alam yang nampaknya mulai bersahabat dengan anak-anak. Belum lama ini Kita amemperingati Hari Anak, semoga kebahagiaan mereka bisa menghapus kenangan masa lalu. Dunia Anak atau dalam bahasa Jawa-nya 'tlatah bocah' merupakan sebuah event tahunan yang digagas oleh sebuah lembaga swadaya masyarakat bernama Rumah Pelangi dimana keceriaan dalam kreasi anak anak ditampilkan dalam sebuah pentas seni berbasis kemasyarakatan. Saya berkesempatan meliput event ini bersama beberapa rekan rekan fotografer lainnya yang sangat antusias untuk mengabadikan setiap aksi dalam kameranya. Boleh dibilang moment seperti ini jarang sekali bisa ditemukan dan berkesempatan untuk meliputnya adalah sebuah hal terlalu indah untuk dilewatkan. Seperti kata seorang teman 'ini momen antropologis' mengingat dia sangat gemar dengan produk budaya lokal macam ini.
Perjalanan ke Dusun Gowok Pos memakan waktu sekitar dua jam lebih. Menyusuri pemandangan yang indah, dihiasi luasnya sawah dan ladang tebu. Terkadang beberapa kumpulan pohon bambu mempercantik pemandangan alam Muntilan dengan Merapi, Sendoro dan Sumbing pada back groundnya. Cuaca khas daerah pegunungan yang dingin menyegarkan melengkapi bonus perjalanan wisata ke Dunia Anak. Semuanya sangat indah ketika sampai di Rumah Kepala Dusun dimana berderet cangkir kopi tubruk panas tersedia di meja tamu. Yah, boleh dibilang Indonesia masih mewarisi kerahaman dan respect yang tinggi pada tamu. Patut dicatat pula bahwa kami tidak seperti para pengelana dari Eropa yang ketika bertemu dengan hospitality ala Indonesia lantas berusaha untuk menguasainya, bahkan mengeksploitasi negeri indah ini dengan batas yang tidak berujung, meninggalkan borok bernanah yang busuk dan akut. Lebih parah lagi yang bisa dilakukan oleh anak bangsa hanya bisa mengeluh dan mengeluh tanpa mau berusaha mengobati luka itu. Makin dibiarkan malah makin menganga dan bahkan bermunculan luka baru yang lebih sulit untuk diobati walau dengan operasi bedah mutakhir. entalah dengan semua itu, hawa dingin kaki gunung merapi dan secangkir kopi panas membuat saya tidak mau berpikir hal yang 'njlimet' macam begitu. Cukup dengan sebungkus rokok dan obrolan kami yang 'ngalor ngidul' deselingi tawa dan kehangatan sudah cukup bagi kami, anehnya kami lebih sering terlihat bercanda ketimbang serius dan kami menyukainya terutama saya sendiri.
Satu hal yang paling mencolok dan mengundang perhatian saya dalam kunjungan ke Gowok Pos adalah banyaknya antena Televisi yang menjulang tinggi, nampaknya kekuatan media massa satu ini telah sampai ke wilayah ini. Yang notabene terletak jauh dari keramaian kota dan hiruk pikuk ruwetnya pemikiran kota. bahkan bagi yang memiliki dana lebih, dapat menikmati siaran media televisi melalui parabola yang tidak butuh bambu atau tiang yang panjang atau kabel yang panjang. Atau jika ingin menghemat, dapat melirik pabrikan dalam negeri, itung-itung mendukung perekonomian bangsa biar Merah Putih bisa berkibar malu-malu di tengah globalisasi... Pengaruh media massa semisal televisi secara perlahan menyusup melalui penawaran yang tidak disadari oleh khalayaknya dan dalam hal ini masyarakat Gowok Pos. Saya tidak heran jika menemukan "geronimo" si Apache atau "Tweety" yang notabene jauh-jauh dari negeri Paman Sam pada seorang anak dusun di kaki gunung yang dalam canda bersama teman-temannya menyeletuk 'ya iyalah.." - dengan nada sinetron remaja sebuah stasiun televisi nasional. Bener kata Marshal McLuhan "we live in a global village"
namun derasnya informasi dan budaya yang ditawarkan media melalui siaran-siaranya tidak serta merta menyingkirkan kebudayaan yang tetap dipegang teguh olah masyarakat Gowok Pos. Kontrol sosial dan pengawasan melalui media tradisional maupun tokoh masyarakat sebagai "gate keeper" yang ketat, ditunjang tingginya penghargaan terhadap budaya lokal dan nilai2 kearifan lokal. Bukti otentik yang bisa diperoleh dengan gampang adalah masih dipertahankannya produk kebudayaan lokal dengan segenap filosofi yang tersembunyi dibalik tiap wujud pencapaian kebudayaan bangsa ini, baik melalui alat musik, tarian maupun seni rupa. Upaya menumbuhkan penghargaan terhadap budaya lokal memang sedang giat diupayakan oleh pemerintah melalui berbagai instansinya dan juga tidak ketinggalan pemerhati budaya dan sosial macam LSM, Rumah Pelangi misalnya. Akulturasi pun kadang mewarnai kehidupan masyarakat berbudaya. penyerapan nilai dan ideologi serta mengkombinasikannya dengan nilai lokal merupakan sebuah bukti bagaimana adaptasi dari sebuah kebudayaan untuk tetap eksis dalam jaman yang semakin melupakan nilai-nilai lokal. Pemaknaan melalui penggabungan dua budaya yang berbeda tidak serta merta menghilangkan nilai asli dari kebudayaan masyarakat, justru hal itu memperkaya nilai kebudayaan tradisional yang memang secara simultan memperbaharui dirinya terhadap segala perkembangan jaman...
menikmati moment kebudayaan adalah sebuah hal yang langka... namun lebih sulit lagi adalah untuk membudayakan menyimak kebudayaan lokal. Dan hal ini hanya bisa dimulai sejak dini. Hal tersebut sama sulitnya dengan melestarikan nilai kebudayaan semisal pengenalan terhadap seni tari atau seni musik tradisonal. Sungguh salut dengan antusiasme para anak Gowok Pos dalam menjaga tradisi dan nilai budaya lokal.dan jika mungkin bagi kita yang ada di dunia ini menyatukan tekad dan bersatu demi menciptakan "dunia anak" yang penuh damai dan tiada air mata dari mata lugu mereka... mulailah dengan membagi kasih pada anak di keluarga kita atau anak2 yang kita temui di jalanan dan dimanapun jua...
*kalau Carolin Steiger yang dari Austria punya antusias tinggi buat moment kayak gini, bagaimana dengan kita yang "anak kampung sendiri" ..?? at least moment budaya macam ini perlu dibudayakan khususnya dalam karya kita, nampaknya susah mengingat kita hanya "satu orang gila di antara sembilan orang waras" ...
Setelah sempat dihantam 2 musibah yang paling membekas dan meluluhlantahkan seisi Jogjakarta, yakni letusan Merapi dan gempa bumi yang terjadi beberapa tahun lalu, saat nya bagi anak anak Jogjakarta (umumnya) dan Gowok Pos (khususnya) menikmati dunia mereka, dunia tanpa tangis dan dunia penuh kebahagiaan. Saatnya memerangi post traumatic syndrome akibat mahadaya alam yang nampaknya mulai bersahabat dengan anak-anak. Belum lama ini Kita amemperingati Hari Anak, semoga kebahagiaan mereka bisa menghapus kenangan masa lalu. Dunia Anak atau dalam bahasa Jawa-nya 'tlatah bocah' merupakan sebuah event tahunan yang digagas oleh sebuah lembaga swadaya masyarakat bernama Rumah Pelangi dimana keceriaan dalam kreasi anak anak ditampilkan dalam sebuah pentas seni berbasis kemasyarakatan. Saya berkesempatan meliput event ini bersama beberapa rekan rekan fotografer lainnya yang sangat antusias untuk mengabadikan setiap aksi dalam kameranya. Boleh dibilang moment seperti ini jarang sekali bisa ditemukan dan berkesempatan untuk meliputnya adalah sebuah hal terlalu indah untuk dilewatkan. Seperti kata seorang teman 'ini momen antropologis' mengingat dia sangat gemar dengan produk budaya lokal macam ini.
Perjalanan ke Dusun Gowok Pos memakan waktu sekitar dua jam lebih. Menyusuri pemandangan yang indah, dihiasi luasnya sawah dan ladang tebu. Terkadang beberapa kumpulan pohon bambu mempercantik pemandangan alam Muntilan dengan Merapi, Sendoro dan Sumbing pada back groundnya. Cuaca khas daerah pegunungan yang dingin menyegarkan melengkapi bonus perjalanan wisata ke Dunia Anak. Semuanya sangat indah ketika sampai di Rumah Kepala Dusun dimana berderet cangkir kopi tubruk panas tersedia di meja tamu. Yah, boleh dibilang Indonesia masih mewarisi kerahaman dan respect yang tinggi pada tamu. Patut dicatat pula bahwa kami tidak seperti para pengelana dari Eropa yang ketika bertemu dengan hospitality ala Indonesia lantas berusaha untuk menguasainya, bahkan mengeksploitasi negeri indah ini dengan batas yang tidak berujung, meninggalkan borok bernanah yang busuk dan akut. Lebih parah lagi yang bisa dilakukan oleh anak bangsa hanya bisa mengeluh dan mengeluh tanpa mau berusaha mengobati luka itu. Makin dibiarkan malah makin menganga dan bahkan bermunculan luka baru yang lebih sulit untuk diobati walau dengan operasi bedah mutakhir. entalah dengan semua itu, hawa dingin kaki gunung merapi dan secangkir kopi panas membuat saya tidak mau berpikir hal yang 'njlimet' macam begitu. Cukup dengan sebungkus rokok dan obrolan kami yang 'ngalor ngidul' deselingi tawa dan kehangatan sudah cukup bagi kami, anehnya kami lebih sering terlihat bercanda ketimbang serius dan kami menyukainya terutama saya sendiri.
Satu hal yang paling mencolok dan mengundang perhatian saya dalam kunjungan ke Gowok Pos adalah banyaknya antena Televisi yang menjulang tinggi, nampaknya kekuatan media massa satu ini telah sampai ke wilayah ini. Yang notabene terletak jauh dari keramaian kota dan hiruk pikuk ruwetnya pemikiran kota. bahkan bagi yang memiliki dana lebih, dapat menikmati siaran media televisi melalui parabola yang tidak butuh bambu atau tiang yang panjang atau kabel yang panjang. Atau jika ingin menghemat, dapat melirik pabrikan dalam negeri, itung-itung mendukung perekonomian bangsa biar Merah Putih bisa berkibar malu-malu di tengah globalisasi... Pengaruh media massa semisal televisi secara perlahan menyusup melalui penawaran yang tidak disadari oleh khalayaknya dan dalam hal ini masyarakat Gowok Pos. Saya tidak heran jika menemukan "geronimo" si Apache atau "Tweety" yang notabene jauh-jauh dari negeri Paman Sam pada seorang anak dusun di kaki gunung yang dalam canda bersama teman-temannya menyeletuk 'ya iyalah.." - dengan nada sinetron remaja sebuah stasiun televisi nasional. Bener kata Marshal McLuhan "we live in a global village"
namun derasnya informasi dan budaya yang ditawarkan media melalui siaran-siaranya tidak serta merta menyingkirkan kebudayaan yang tetap dipegang teguh olah masyarakat Gowok Pos. Kontrol sosial dan pengawasan melalui media tradisional maupun tokoh masyarakat sebagai "gate keeper" yang ketat, ditunjang tingginya penghargaan terhadap budaya lokal dan nilai2 kearifan lokal. Bukti otentik yang bisa diperoleh dengan gampang adalah masih dipertahankannya produk kebudayaan lokal dengan segenap filosofi yang tersembunyi dibalik tiap wujud pencapaian kebudayaan bangsa ini, baik melalui alat musik, tarian maupun seni rupa. Upaya menumbuhkan penghargaan terhadap budaya lokal memang sedang giat diupayakan oleh pemerintah melalui berbagai instansinya dan juga tidak ketinggalan pemerhati budaya dan sosial macam LSM, Rumah Pelangi misalnya. Akulturasi pun kadang mewarnai kehidupan masyarakat berbudaya. penyerapan nilai dan ideologi serta mengkombinasikannya dengan nilai lokal merupakan sebuah bukti bagaimana adaptasi dari sebuah kebudayaan untuk tetap eksis dalam jaman yang semakin melupakan nilai-nilai lokal. Pemaknaan melalui penggabungan dua budaya yang berbeda tidak serta merta menghilangkan nilai asli dari kebudayaan masyarakat, justru hal itu memperkaya nilai kebudayaan tradisional yang memang secara simultan memperbaharui dirinya terhadap segala perkembangan jaman...
menikmati moment kebudayaan adalah sebuah hal yang langka... namun lebih sulit lagi adalah untuk membudayakan menyimak kebudayaan lokal. Dan hal ini hanya bisa dimulai sejak dini. Hal tersebut sama sulitnya dengan melestarikan nilai kebudayaan semisal pengenalan terhadap seni tari atau seni musik tradisonal. Sungguh salut dengan antusiasme para anak Gowok Pos dalam menjaga tradisi dan nilai budaya lokal.dan jika mungkin bagi kita yang ada di dunia ini menyatukan tekad dan bersatu demi menciptakan "dunia anak" yang penuh damai dan tiada air mata dari mata lugu mereka... mulailah dengan membagi kasih pada anak di keluarga kita atau anak2 yang kita temui di jalanan dan dimanapun jua...
*kalau Carolin Steiger yang dari Austria punya antusias tinggi buat moment kayak gini, bagaimana dengan kita yang "anak kampung sendiri" ..?? at least moment budaya macam ini perlu dibudayakan khususnya dalam karya kita, nampaknya susah mengingat kita hanya "satu orang gila di antara sembilan orang waras" ...
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.