October 12, 2008

Di Ujung Pohon Pinang

63 tahun sudah sejak Bung Karno membacakan naskah proklamasi 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia memasuki babak baru dalam kehidupannya, dengan sebuah kata 'merdeka' dengan gegap gempita. Dan hingga saat ini (walau kemerdekaan yang dicita-citakan masih jauh dari jangkauan) perayaan kemerdekaan masih tetap dilakukan oleh masyarakat Indonesia secara meriah.
Pemerintah menjadikan tanggal 17 Agustus sebagai hari libur nasional bahkan beberapa instansi memasukan tanggal 18 sebagai bagian dari liburan kemerdekaan tersebut.
Perayaan kemerdekaan, sebagaimana negara lainnya, dilakukan dengan upacara bendera di seluruh pelosok negeri. Bendera kebesaran dikibarkan setinggi-tingginya, menggapai langit biru yang luas tak berujung selayaknya perjuangan akan kemerdekaan itu sendiri. Pawai dan beragam acara hiburan diadakan dengan meriah di setiap balai kota, dimana semua orang terlibat langsung entah tua atau muda, pria atau wanita bahkan waria, dari berbagai suku bangsa yang tersebar di 16 ribu pulau di wilayah Indonesia. Masing-masing menampilkan keunikannya sendiri-sendiri namun dengan satu semangat, semangat kemerdekaan yang membara di dalam diri setiap manusia Indonesia.
Pada tataran masyarakat menengah dan bawah, ada sebuah hiburan yang wajib dilakukan pada setiap perayan kemerdekaan di Indoneisia: Panjat Pinang.
Panjat Pinang adalah sebuah aksi yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia sebagai bentuk perayaan kemerdekaan yang sangat unik. Berawal dai tradisi masa penjajahan kolonial Belanda sebagai bentuk hiburan kelas atas (yang menjadi penonton dan terkadang donatur) dimana mayarakat kelas bawah (inlander/pribumi) berusaha menggapai ujung pohon pinang yang dikuliti dan dilumuri oli mesin yang disana terdapat hadiah yang digantung. Pada masanya, hadiah tersebut berupa celana panjang, kemeja dan beberapa alat dapur seperti piring atau senduk dan garpu, butternut coockies hingga commodore. Ingatlah bahwa dalam masa kolonial, barang-barang tersebut merupakan barang mewah yang hanya bisa dimimpikan oleh kaum pribumi dari kelas bawah. Dan kegiatan ini pun hanya dilakukan pada saat-saat tertentu, perayaan ulang tahun sinyo belanda misalnya.
Kini, panjat pinang menjadi menu utama dari setiap perayaan kemerdekaan yang dilakukan di seluruh pelosok negeri. Pada beberapa tempat, kegiatan ini dilakukan baik di lapangan di tengah kota, ataupun di pesisir pantai, bahkan ada pula yang melakukannya di tengah sungai. Pohon pinang yang berasal dari bangsa palem tersebut dikuliti dan dihaluskan kemudian dilumuri oli mesin atau ditambahkan gemuk (semacam lemak pelumas bagian mesin yang khusus dengan tingkat kekentalan yang tinggi) dan dijemur seharian dengan tujuan agar batang pinang tersebut merata dilapisi oli dan juga agar gemuk tadi menjadi lebih encer (mencair) mengingat konsentrat gemuk yang mirip agar-agar membutuhkan panas yang cukup lama. Pada bagian ujung batang pinang tadi, dipasang sebuah lingkaran dari bambu yang pada lingkaran tersebut berbagai macam hadiah digantungkan. Sebuah bendera merah putih juga ditancapkan di ujung batang pinang, yang mana akan menjadi hak bagi orang pertama yang berhasil mencapai puncak. Tentu saja pada masa kolonial tidak ada bendera merah putih di ujung pohon pinang. Bagian pangkal pinang, ditanam kira-kira satu meter ke dalam tanah. Rata-rata tinggi pohon pinang dari permukaan tanah hingga ke ujungnya mencapai tujuh meter hingga sembilan meter lengkap dengan bau oli mesin dan panas matahari.
Siapapun bisa memperebutkan hadiah yang ditwarkan, dengan syarat membentuk tim yang terdiri dari lima sampai tujuh sembilan orang dan mendatarkan tim pada panitia perayaan. Syarat laiinya sangat sederhana, dalam pemanjatan hanya lima orang yang boleh memanjat dan empat lainnya sebagi cadangan. Tidak diperbolehkan memakai alat bantu pemanjatan baik tali ataupun tangga dan tidak diperbolehkan memakai baju. Hal ini supaya mencegah lunturnya cairan pelumas. Pelanggaran atas hal tersebut tidak bisa ditolerir dan tim dapat didiskualifikasi oleh panitia. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam membentuk tim. Yang pertama, usahakan agar tim terdiri dari minimal tiga orang bertubuh kekar sebagai fondasi pemanjatan. Postur tubuh dan kekuatan dalam memikul beban yang mencapai 3 kali berat tubuhnya adalah hal-hal yang menjadi catatan, mengingat orang-orang pilihan ini akan berperan besar dalam proses pemanjatan sebagai dasar atau fondasi. Kemudian pemanjat yang berikutnya setidaknya memiliki kekuatan yang sama dengan pemanjat yang berperan sebagai fondasi. Lebh bagus lagi jika memilili tinggi yang diatas rata-rata. Patut dicatat bahwa rata-rata tinggi tubuh maksimal ras melanosoid sekitar 175-185 cm. Dengan tinggi sedemikian, akan memudahkan pemanjat terakhir dalam meraih ujung dari pohon pinang. Bobot tubuh pemanjat tengah sebaiknya tidak lebih dari bobot tubuh pemanjat dasar. Pemanjat akhir adalah orang yang tidak kalah penting peranannya. Biasanya orang yang dipilih bertubuh mungil namun memiliki kemampuan yang mumpuni dalam memanjat dan pastinya tidak memiliki fobia pada ketinggian. Biasanya jika sang pemanjat terakhir telah berhasil naik dan bertahan pada batang pinang tanpa harus bertumpu pada pemanjat tengah, ia akan dipersilahkan beraksi sendiri. Mempertontonkan kekuatan cengkraman dan keuletan dalam mengalahkan licinnya batang pinang. Setelah sukses sampai di puncak, ia akan mencabut bendera merah putih (terkadang dalam acara yang disponsori oleh salah satu organisasi, bendera merah putih diganti logo organisasi yang bersangkutan) dan mulai memilih hadiah yang akan diturunkan. Pada beberapa tempat, hadiah yang diperebutkan langsung digantungkan pada ujung pohon pinang, sementara di tempat lain hadiahnya disimpan di meja panitia dan yang digantungkan hanya amplop berisi nama hadiah yang dipilih. Dan maksimal hadiah yang boleh diturunkan hanya lima buah dalam sekali pemanjatan dan jika ingin mengambil lebih, maka tim harus memulai dari awal lagi. Jatah maksimal hadiah ini juga menjamin tim lain yang akan memanjat pada pohon yang sama kebagaian, sehingga asas kesetaraan tetap terjaga. Kedua, Dengan jumlah maksimal tim antara 9 sampai 10 orang dan hanya 5 orang yang boleh melakukan pemanjatan bukan berarti sisa tim tidak melakukan apa-apa. Sisa anggota yang tidak memanjat dapat berpartisipasi dengan menopang sang pemanjat dasar, menyoraki atau memberi semangat bahkan mengarahkan pemanjat tengah dan akhir dengan strategi-strategi yang disiapkan, pemanjat pengganti harus bertindak cepat jika salah satu anggota pemanjatan mengibarkan bendera putih dalam pemanjatan. Ketiga, dalam melakukan pemanjatan sebaiknya dilakukan secara cepat dan cermat. Kemampuan pemanjat dasar/fondasi dalam menahan beban tubuh pemanjat lainnya akan sangat mempengaruhi. Kita tidak tahu batas maksimal waktu baginya untuk dapat menahan beban.

Kritik Humanisme terhadap panjat pinang.
Ada semacam kritik kemanusiaan yang dilontarkan oleh kelompok humanis terhadap even panjat pinang yang telah membudaya dalam masyarakat Indonesia. Tuntutan mereka, agar even ini tidak lagi diselenggarakan karena sarat akan dehumanisasi masyarakat. Lebih naif lagi (pendapat saya pribadi) bahwa even ini adalah peninggalan kolonial yang harus segera diberangus. Saya sendiri menentang klaim kaum humanis yang seolah-olah hidup dalam alam utopis untuk menghapus even panjat pinang yang diadakan baik pada acara perayaan kemerdekaan bangsa maupun pada acara lainnya. Banyak pelajaran yang bisa diperoleh dari panjat pinang. Ada kerja sama tim didalamnya, difersifitas menjadi unifitas. Bukankah ini yang menjadi salah satu semboyan bangsa kita, bhinneka tunggal ika? Dalam pemanjatan, sebuah tim terdiri dari berbagai latar belakang namun mereka menjadi satu untuk tujuan bersama. Stategi dan taktik yang diterapkan menuntut keterbukaan dan kekompakan, ini juga mengindikasikan adanya musyawarah sebagaimana tertera dalam dasar negara ini. Kesetaraan baik dalam kesempatan terhadap hadiah yang ditawarkan bagi semua tim, maupun dalam pembagian hadiah sesuai beban kerja anggota tim juga menunjukan adanya 'keadilan bagi semua' dan demokrasi. Akan sangat naif jika mengatakan bahwa even ini hanya memunculkan hiburan semata di atas penderitaan orang lain sebagaimana yang sering didengungkan. Teman saya, Suryo Wibowo menuliskan dalam blognya bagaimana panjat pinang dihubungkan dengan dunia politik dalam masyarakat demokrasi. Jika memang panjat pinang sebagai sebuah hiburan dianggap sebagai sebuah ajang dehumanisasi maka entah apa istilahnya bagi ajang pesta demokrasi yang diadakan tiap 5 tahun di negeri ini. Koflik dimana-mana dan pada ujungnya manusia hanya diwakilkan oleh jumlah suara, haruskah ini juga dihapuskan?? Entalah dengan semua itu.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.