Yogyakarta, 03 Agustus 2008
Angin semilir membelai lembut wajah wajah syahdu, riak ombak di kejauhan terdengar merdu bak irama musik komposer kelas dunia, dan wajah wajah syahdu itu bagai disihir untuk terus tertunduk tenang walau semerbak kemenyan terbakar menyesakan dada. Dari mulut mereka terdengar puji pujian pada Sang Kuasa dalam bahasa yang indah, bukan hanya terdengar dalam nada yang tak kalah indahnya dengan paduan suara ombak di pesisir Parangkusuma yang hanya lima ratus meter dari tempat mereka duduk, namun puji-pujian yang mereka lagukan berasal dari lubuk hati yang penuh ketulusan dan pengabdian kepada kebesaran dan keagungan Nya. Pagi itu, Cepuri Parangkusumo menjadi saksi bisu dari tradisi Labuhan Alit yang sudah mengakar dalam kehidupan masyarakat Jawa yang kaya akan nilai dan tak lenggang oleh jaman.Diawali dengan 'pasrah penampi' di halaman Kantor Kecamatan Kretek, seorang abdi dalem yang juga kusir Kereta Kencana Keraton menyerahkan sesajian yang berupa ubu rampe, pakaian, potongan kuku dan rambut milik Sultan selama setahun pada Bupati Bantul untuk kemudian dibawa ke Cepuri Paragkusumo agar didoakan dan pada akhirnya dilarung pada Pantai Selatan, sebagai persembahan bagi Sang Ratu. Disana, sesajian tadi diperiksa dan diserahkan pada juru kunci Parangkusumo untuk didoakan. Sesajian berupa ubu rampe dan pakaian Sri Sultan kemudian dikumpuklan dan dibungkus dalam rangkaian bambu yang berjumlah tiga buah yang diberi batu sebagai pemberat sehingga nantinya dapat tenggelam ke kedalaman Laut Selatan oleh para cantrik yang bertugas mengusung sesajian ini dan melarungkanya. Satu persatu simpul dibentuk dengan kulit batang bambu mengikat kuat sesajian yang terbungkus daun pisang.
Rombongan kemudian berpindah ke Cepuri Parangkusumo dan kembali memanjatkan doa di hadapan 'batu karang' yang dulunya adalah tempat bermeditasi mendiang Raden Sutawijaya atau yang lebih dikenal dengan nama kehormatan 'Panembahan Senopati' sang Raja Mataram Pertama. Alkisah Raden Stawijaya bersemedi di atas batu karang tersebut, mencari pencerahan pada Sang Hyang Widhi Yang Maha Kuasa atas persoalan yang dihadapinya dalam pembangunan Keraton miliknya sehingga kelak masyarakatnya dijauhi dari segala macam bencana. Aura kharismatik sang Raja terasa hingga ke Istana Penguasa Laut Selatan sehingga membuat Sang Ratu sendiri harus keluar dari wilayah kekuasaanya dan menghampiri Raden Sutawijaya. Dari peristiwa ini lah nama tempat ini kemudian berasal 'Parang Kusuma', parang dalam bahasa jawa artinya karang dan kusuma berarti aura jiwa/ruh. Raden Sutawijaya yang terkesima akan keagungan sang Ratu menyampaikan permohonan-Nya dengan rendah hati. Sang Ratu bersedia memenuhi permohonan Raden Sutawijaya dengan syarat Sang Raja harus mempersunting dirinya dan di setiap tanggal 30 Rajeb Kalender Jawa, Raden Sutawijaya harus menyelenggarakan upacara pemberian sesajen bagi sang Ratu pada pesisir Pantai Selatan. Dan tepat di pagi itu, ritual yang dititahkan Sang Ratu kembali berlangsung. Saya masih terdiam menyaksikan khusuknya para abdi dalem yang menaburkan aneka kembang pada dua batu karang yang dipagari dengan tembok putih setinggi satu meter itu. Sementara yang lainnya menguburkan potongan rambut dan kuku Sri Sultan pada salah satu pojok bagian selatan di dalam lokasi itu.
Dalam buku Babad Tanah Jawi dikatakan bahwa Sang Ratu Segara Kidul akan menjadi permasisuri dari semua raja yang menguasai Jawa. Ini sumpah yang diucapkan beliau ketika bertemu dengan Raden Sasuruh, pendiri Kerajaan Majapahit dan juga adalah leluhur dari Panembahan Senopati.
Mentari mulai menyengat kulit dan keringat perlahan turun dari ubun ubun saya yang masih rapuh, aroma kemeyan masih mengisi udara pagi Parangkusumo yang harus saya akui saya tidak tahan untuk membiarkannya merasuki paru paru saya. Bukan karena nuansa mistis eksotis yang saya takutkan namun lebih pada asma yang saya idap. Saya memutuskan untuk bergerak lebih dahulu menuju pantai, mengikuti jalur yang akan dilalui para abdi dalem. Benar saja, baru dua ratus meter saya berjalan rombongan abdidalem sudah mulai bergerak keluar dari Cepuri menuju Pantai. Ratusan warga mengikuti rombongan, puluhan fotogarfer berlomba untuk mendapatkan komposisi dan angle terbaik untuk bisa mengabadikan payung-payung kebesaran yang menaungi gadis gadis cantik pembawa sesajian dan barisan abdi dalem yang tampak bersahaja dengan pakaian adat Jawa yang indah. Sementara saya masih terus berjalan menuju pantai, berharap mendapatkan spot terbaik. Sesampai di pesisir pantai, doa kembali dipanjatkan oleh seoang panewu memohon dengan rendah hati agar Sang Ratu sekiranya menerima sesajian yang akan dilarung. Alam seakan menjawab doa sang panewu, riak ombak berubah kekuatannya. Seakan tak sabar ingin menjangkau sesajian yang dua puluh meter dari bibir pantai dengan liar. Para cantrik yang dikomando oleh sang panewu segera bergerak menuju liarnya ombak Laut Selatan. Perlahan namun pasti, kaki kaki mereka melangkah dan langkah mereka makin cepat takala memasuki kedalaman enampuluh senti. Makin jauh mereka melangkah, riak ombak makin menggila. Berkali kali mereka mencoba mendorong lebih jauh rangakian bambu yang bersisi sesajian melawan ganasnya ombak yang bisa merenggut nyawa dan akhirnya mereka merasa cukup sebelum ombak membawa serta tubuh mereka. Tiga rangakaian bambu belum juga tenggelam, serentak masyarakat yang sedari tadi menyaksikan langsung berhamburan menuju sesajian yang tenggelam dan berusaha mengambil apa saja yang dapat diambil dari dalam rangkaian bambu yang mulai terberai. Sesuai dengan namanya 'ngalap berkah', masyarakat yang me-rayah sesajian tersebut berharap mendapatkan berkah bagi keluarganya dari sesajian tersebut (Hal yang sama ketika saya mengikuti ritual Grebeg Maulid di pelataran Masjid Gede namun dalam ritual Grebeg, yang di-rayah adalah hasil bumi dan kue jajanan). Mereka harus buru buru mengambil sesajian, mengingat ombak yang semakin cemburu karena jatahnya diambil, makin meninggi dengan kekuatan yang lebih dari sebelumnya. Saya juga menyaksikan seorang abdi dalem menarik seorang anak kecil yang hampir terseret ombak saat ikut me-rayah sesajian bersama warga lainnya.
Ketika semuanya telah memproleh apa yang mereka perjuangkan dalam rebutan bersama yang lainya, masing masing warga mulai meninggalkan tempat tersebut dan membagi berkah bersama anggota keluarga yang lainnya. Terik ditambah efek dari angin pantai membuat dahaga di tenggorokan tidak bisa ditahan lagi, sayapun mencari tempat berteduh dan sekaligus menghilangkan dahaga pada sebuah warung yang tak jauh dari Cepuri Parangkusumo yang akan terus menjadi saksi bisu hubungan antara manusia dan alam dalam dimensi vertikal dan horisontal dengan segenap nilai filosofisnya.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.